Cari di Blog Ini

Senin, 31 Oktober 2016

Pengertian Hukum Syara dan Hukum Taklif



A.    Pengertian Hukum Syara’
Secara bahasa hukum berarti mencegah dan memutuskan. Adapun hukum menurut terminologi ushul fiqh adalah:
خِطَابُ الشَّارِعِ المُتَعَلِّقُ بِأَفعَالِ المُكَلَّفِينَ بِالإِاقتِضَاءِ أَوِ التَّخيِيرِ أَوِ الوَضعِ
"Khitab (doktrin) syari' (Allah) yang bersangkutan dengan perbuatan orang yang sudah mukalaf. Baik berupa tuntutan (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan) atau berupa takhyir (kebolehan untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan) atau wad'i (menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani'/penghalang)."[1]
Kitab Allah, yang dimaksud dalam definisi diatas ialah kalam Allah. Kalam Allah sebagai sifatnya adalah al-kalam al-nafsi (kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi melalui kalam lafzi, yaitu kalam yang mempunyai huruf dan suara dalam Al-quran. Kalam Allah adalah hukum secara langsung (ayat-ayat hukum dalam Al-quran) atau secara tidak langsung (hadis-hadis Rasulullah). Hadis-hadis Rasulullah tentang ayat-ayat hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah di bidang Tasyri' tidak lain adalah petunjuk dari Allah juga. [2]
Ayat-ayat atau hadis-hadis hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam:[3]
a.       Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
b.      Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya haram.
c.       Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya sunah.
d.      Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e.       Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak, dan perbuatan yang diberi pilih untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f.       Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g.      Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h.      Menetapkan sesuatu sebagai mani (penghalang).
i.        Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan batal.
j.        Menetapkan sesuatu sebagai kriteria 'azimah dan rukhshah.
 Untuk lebih jelasnya lagi, dapat dilihat contoh-contoh dibawah ini:
a.       Contoh hukum yang berupa tuntutan
1.      Tuntutan untuk mengerjakan
يأيّها الّذين ءامنوا أوفوا بالعقود
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu (janji).. (QS: al-Maidah/5:1)
2.      Tuntutan untuk meninggalkan
يأيّها الّذين لايسخر قوم من قوم
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain... (QS: al-Hujurat/49:11)
Ini adalah khitab Syari' yang berkaitan dengan mengolok-olokkan, dalam bentuk tuntutan untuk meninggalkannya.[4]
b.      Contoh hukum yang berupa pilihan
كُلُوا وَاشرَبُوا مِن رِّزقِ الله وَلَاتَعثَوافِى الأَرضِ مُفسِدِين
Artinya: Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) oleh Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (QS: al-Baqarah/2:60)
Ayat diatas mengandung pilihan kepada kita untuk memilih makan dan minum sesuatu yang halal selama tidak berlebihan.
c.       Contoh hukum yang berupa ketetapan
لاَ يَرِثُ القَاتِلُ
Artinya: Tidaklah mendapatkan hak waris orang yang membunuh.
Hadis ini merupakan khitab dari syari' yang bersangkutan dengan pembunuhan dalam bentuk ketetapannya sebagai penghalang dalam hal warisan. [5]
Nash yang keluar dari syara' yang menunjukkan bentuk tuntutan, pilihan atau penetapan itulah yang disebut hukum syara' menurut ahli ushul fiqh. Adapun hukum syara' menurut ulama fiqh ialah efek yang dikehendaki oleh Allah dalam setiap perbuatan mukalaf, seperti wajib, haram, dan mubah.[6]
B.     Pengertian Hukum Taklif
Hukum taklif ialah “hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatan oleh mukalaf atau melarang mengerjakannya atau memilih antara melakukannya atau meninggalkannya”. Berikut ialah contoh-contoh hukum taklif:[7]
Contoh hukum taklif yang menuntut kepada mukalaf untuk mengerjakannya:
a.       Berpuasa dibulan Ramadhan. QS. Al-Baqarah(2) ayat 183:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
b.      Melakukan ibadah haji bagi yang mampu. QS. Ali Imran(3) ayat 97:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا...
Artinya: .... mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia kepada Allah...
Contoh hukum taklif yang menghendaki untuk ditinggalkan oleh mukalaf:
a.       Makan bangkai, darah, dan daging babi. QS. Al-Maidah(5) ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ...
Artinya: Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah dan daging babi...
b.      Berkata tidak sopan kepada kedua orang tua. QS. Al-Isra(7) ayat 23:
... فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ  
Artinya:.... janganlah kamu berkata kepada kedua orang tua dengan kata-kata yang dapat menyakitkan perasaan keduanya...
Contoh hukum taklif yang membolehkan bagi mukalaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya.
a.       Bertebaran atau tidak bertebaran setelah melakukan shalat jumat. QS. Al- Jumu’ah(10):
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ...
Artinya: Apabila shalat telah kamu lakukan maka bertebarlah kamu di muka bumi....
b.      Mengqasar shalat ketika berpergian jauh. QS. An-Nisa(4) ayat 101

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا

Artinya : Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqasar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

c.       Pembagian Hukum Taklifi
Hukum yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia tidak lain kecuali untuk kemaslahatan dan keselamatan manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Keselamatan ini akan dapat kita peroleh jika kita mau menaati hukum-hukum Allah yang secara konsekuen.[8]
Para ulama ushul fiqh membagi hukum taklif menjadi lima macam yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
1. Wajib
a. Pengertian wajib
Definisi wajib menurut syara' adalah مَا طَلَبَ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ فِعْلُهُ                                                  
Artinya: "Sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar dikerjakan secara pasti"
Berdasarkan definisi di atas, wajib adalah ketentuan perintah itu harus dilakukan oleh mukalaf sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan. Konsekuensi dari hukum wajib ini akan mendatangkan pahala jika dilakukan dan akan memdatangkan dosa jika ditinggalkan. Contoh sesuatu yang hukumnya wajib untuk dilaksanakan seperti shalat, berpuasa, membayar zakat, menunaikan haji bagi orang yang mampu, dan berbakti kepada kedua orangtua. Semua perintah tersebut hukumnya pasti dan tegas. Jika ditinggalkan akan mendatangkan sanksi dari Allah SWT.[9]
b. Pembagian Hukum Wajib
1) Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya:
Pertama, kewajiban yang tidak terikat oleh waktu. Kewajiban ini maksudnya adalah kewajiban yang harus dilakukan pada waktu tertentu yang telah ditetapkan dan tidak boleh dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan itu, contoh melaksanakan shalat lima waktu.
Kedua, kewajiban yang tidak terikat oleh waktu. Kewajiban ini maksudnya adalah bahwa kewajiban ini tidak ditentukan waktu pelaksanaannya, boleh kapan saja dialkukan seperti kafarat (denda tebusan) untuk orang yang melanggar. Maka pelaksanaan tebusan boleh saja kapan dilakukan.
2) Dilihat dari segi mukalaf sebagai pelaksana
Pertama, wajib 'ain. Wajib 'ain ialah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk dikerjakan oleh setiap mukalaf secara individu. Ringkasnya, wajib 'ain ialah kewajiban yang harus ditanggung oleh masing-masing orang. Contohnya kewajiban shalat, zakat, puasa, haji.
Kedua, wajib kifayah. Wajib kifayah adalah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT. Yang di anggap cukup jika sudah dikerjakan oleh orang atau sekelompok orang, tidak harus semua orang mengerjakannya. Jika seseoramg atau sekelompok orang telah mengerjakan makan gugurlah kewajiban yang lain. Akan tetapi jika kewajiban ini ditinggalkan sama sekali, maka semuanya akan ikut berdosa. Contohnya kewajiban amr ma'ruf nahi mungkar, menshalatkan mayat, membangun rumah sakit, menyelamatkan orang yang tenggelam.
3) Dilihat dari segi ukuran sesuatu yang diwajibkan
Pertama, muhaddad (dibatasi ukurannya). Kewajiban ini ialah kewajiban yang ukurannya sudah diketahui dengan jelas. Contohnya shalat lima waktu. Ukuran melaksanakan shalat lima waktu dari segi rakaat, rukun, dan syaratnya telah ditentukan dengan jelas.
Kedua, ghairu muhaddad (tidak dibatasi. Kewajiban ini ialah kewajiban yang agama tidaj menentukan atau membatasi ukurannya. Ukurannya diserahkan kepada orang yang akan melakukan kewajiban tersebut. Contohnya bersedekaj di jalan Allah, tolong menolong atas kebaikan, memberi makan kepada fakir miskin, menolong orang yang kesulitan, dan memberi nafkah kepada istri.
4) Dilihat dari kesempatan bagi mukalaf untuk melakukannya
Pertama, muayyan (tertentu). Kewajiban ini maksudnya ialah kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada mukalaf untuk melakukannya tanpa ada kesempatan untuk memilih atau meninggalkannya. Contohnya shalat fardhu, puasa, harga sesuatu yang dibeli, dan mengembalikan sesuatu yang di-ghasab. Semua kewajiban ini akan terus menjadi tanggungan mukalaf sampai ia melaksanakan.
Kedua, mukhayyar (boleh memilih). Wajib ini ialah kewajiabn yang harus dilakukan mukalaf untuk melakukannya dengan memilih antara beberapa pilihan. Jika ia telah melakukan salahsatu pilihan ini maka gugurlah sudah kewajibannya. Contohnya adalah membayar kafarat (denda tebusan). Allah mewajibkan kepada orang yang melanggar sumpahnya agar memberi amkan kepada orang miskin, atau memberi pakaian kepadanya atau memerdekakan budak. Dengan demikian, kewajiban orang yang melanggar sumpahnya adalah mengerjakan salahsatu di antara beberapa pilihan di atas.
2. Mandub
a. Pengertian Mandub
Secara bahasa berarti sesuatu yang di anjurkan. Secara istilah ialah perintah yang datang dari Allah untuk dilakukan oleh mukalaf secara tidak tegas atau harus, atau dengan kata lain perintah yang tidak sampai kepada derajat wajib. Dalam masalah sunah ini, konsekuensinya jika dilakukan akan mendapat pahala dan tidak mendapat siksa jika ditinggalkan. Mandub dalam kajian ushul fiqh disebut juga sunah, nafilah, tatawwu', mustahab, dan ihsan. Contohnya mencatat hutang, shalat sunnah, dan mengucapkan salam.
b. Pembagian Mandub
     Mandub terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Sunah muakkadah (sunah yang kuat). Yaitu sunah yang selalu ditekuni oleh Nabi dan Nabi tidak pernah meninggalkannya kecuali sekali atau dua kali saja untuk menunjukkan bahwa hal itu bukan suatu kewajiban. Posisi sunah muakkadah ini akan menguatkan bahwa orang yang meninggalkan sunah ini tidak mendapat dosa tetapi mendapat celaan, sunah muakkadah ini dapat dikatakan sebagai penyempurna kewajiban. Contohnya adalah azan, shalat berjama'ah.
2.      Sunah ghairu muakkad (tidak kuat), yaitu sunah yang jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa juga tidak tercela. Yang termasuk sunah ghairu muakkadah ini adalah semua perbuatan yang tidak ditekuni oleh Rasul dalam mengerjakannya. Contohnya adalah seperti shalat sunah sebelum zuhur, sebelum asar, dan sebelum isya.
3.      Sunah tambahan (zaidah). Yang dimaksud dengan sunah tambahan ini yaitu sesuatu yang dianggap sebagai pelengkap bagi mukalaf. Sunah ini tidak sejajar dengan dua sunah terdahulu. Yang dimaksud dengan sunah zaidah ini ialah mengikuti Rasul sebagai manusia biasa. Seperti mengikuti cara makan dan minum, memelihara jenggot, dan mencukur kumis.
3. Haram
a. Pengertian Haram
Haram adalah perbuatan yang dilarang Allah melakukannya karena menimbulkan bahaya dan mudharat bagi yang melakukannya dan juga bagi orang lain yang berada di sekitarnya.[10] Haram adalah مَا طَلَبَ الشَّارِعُ الْكَفَّ عَنْ فِعْلِهِ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ                                                                                   
Artinya: "Tuntutan yang tegas dari Allah SWT untuk tidak dikerjakan secara pasti."[11]
     Haram yaitu apa yang diminta oleh Syari’menghentikan perbuatannya, permintaan secara pasti. Sighat minta diperhentikan itu sendiri yang menunjukkan bahwa permintaan itu merupakan kepastian.[12] Contoh,- bahwa khamar, judi, berhala, dan mengundi nasib itu adalah najis perbuatan syetan, maka jauhkanlah dirimu daripadanya.[13] Sebagaimana firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik (QS. 24:4).”
b. Pembagian Haram
Haram terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Haram Asasi (asal), yaitu hukum yang ditegaskan oleh Allah bahwa hukum itu haram sejak dari permulaan atau haram secara zat (realitas/esensial), karena di dalamnya terkandung kerusakan dan bahaya terhadap agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Contohnya berzina, makan bangkai, dan minum arak.[14]
2.      Haram disebabkan sesuatu yang lain (bertentangan). Artinya, menurut perbuatan itu menurut hukum syar’i permulaannya wajib, atau sunat, atau mubah, tapi berkaitan dengan hal-hal yang menyimpang dari syar’i, maka hal ini menjadikan dia haram. Seperti sembahyang memakai kain yang di rampas, jual beli yang memakai tipuan, kawin dengan maksud untuk menghalalkan isteri yang sudah diajatuhi talak tiga.[15]
4. Makruh
a. Pengertian Makruh
Makruh ialah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar seseorang tidak mengerjakan sesuatu, tetapi perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu ini sifatnya tidak pasti atau tidak tegas. Contohnya seperti larangan Allah kepada manusia untuk bertanya tentang sesuatu yang apabila dijelaskan akan menyusahkan kamu, banyak bertanya, dan menghambur-hambur kata.
b. Pembagian Makruh
     Makruh terbagi menjadi dua, yaitu[16]:
1.      Makruh tahrim, yang dikenal di kalangan Hanafiah yatu suatu perbuatan yang dituntut untuk meninggalkannya secara tegas namun menggunakan dalil yang tidak kuat dan pasti (zanni). Contohnya berbohong.
2.      Makruh tanzih, yaitu perbuatan yang dituntut untuk meninggalkannyasecara tidak tegas dan pasti, sehingga memungkinkan untuk tidak ditinggalkan. Contohnya merokok.
5. Mubah
a. Pengertian Mubah
Mubah adalah sesuatu yang diperbolehkan Allah kepada seseorang untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Atau dengan kata lain Allah tidak menyuruh dan tidak melarang. Konsekuensinya adalah jika dikerjakan akan berpahala dan jika ditinggalkan maka tidak berdosa. Contohnya berburu setelah melakukan haji, bertebaran sudah shalat jum'at, makan dan minum, dan sebagainya.
b. Pembagian Mubah
      Mubah terbagi menjadi empat, yaitu[17]:
1.      Mubah yang mengikuti suruhan untuk berbuat. Mubah dalam bentuk ini disebut mubah dalam bentuk bagian atau juzu’. Namun, secara keseluruhan dituntut untuk berbuat. Umpamanya makan dan kawin. Walaupun pada awalnya hukum makan dan kawin itu adalah mubah, namun bila disengaja meninggalkannya sama sekali hukumnya menjadi wajib, karena kalau ditinggalkan sama sekali maka hukumnya adalah haram.
2.      Mubah yang mengikuti tuntutan untuk meninggalkan. Mubah dalam bentuk ini disebut mubah secara bagian atau juzu’, namun dilarang secara keseluruhan atau kulli. Umpamanya bermain-main. Pada dasarnya hukumnya adalah mubah. Tetapi kalu bermain-main itu dilakukan sepanjang waktu sampai hilang kesempatan melakukan shalat, maka hukumnya menjadi terlarang.
3.      Mubah yang tidak mengikuti sesuatu yang haram atau wajib, namun sebaiknya dilakukan bukan karena banyak manfaatnya. Contohnya tidur.
4.      Mubah yang tunduk kepada hukum mubah itu sendiri, yaitu sesuatu yang seseorang diberi hak untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan.


[1] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), cet ke-2, hlm. 121
[2] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), set ke-4, hlm. 36
[3] Ibid, hlm. 38
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 142.
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm.143
[6] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), cet ke-2, hlm. 121
[7] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A., Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011, hal.124-126.
[8] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A., Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011, hal.126.
[9] Ibid., hal.127.
[10] Amir Syarifuddin. Garis-garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2012. Cet.1., hal.15.
[11] Drs. Sapiudin, op.cit. hal.132.
[12] Syekh Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hal.134.
[13] Syekh Abdul Wahab Kallaf, ibid., hal. 135.
[14] Drs. Sapiudin Shidiq, MA., op.cit., hal.132.
[15] Syekh Abdul Wahab Kallaf, op.cit., hal.135.
[16] Amir Syarifuddin, op.cit., hal. 16.
[17] Ibid., hal.17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar