Cari di Blog Ini

Senin, 31 Oktober 2016

Pesan Damai Habib Umar vin Hafidz


*Petikan Tausiyah Al 'Allamah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, Masjid Istiqlal, Jakarta, Indonesia, 31 Oktober 2016*

_Disalin oleh: Imron Rosyadi, Jamaah Majelis Rasulullah._

Sebagian perkumpulan di dunia ternyata memberikan kegelapan di akhirat, membuahkan penyesalan yang dahsyat, masuk ke dalam Adzab, terhijab dari doa para Nabi, membuat orang tersebut tidak dapat datang ke Telaga Rasulullah.

Wahai orang-orang yang hadir, kalian hadir untuk siapa ? Kalian hadir demi siapa?

Barangsiapa yang hadir di majelis ini jika dalam hatinya ada campuran niat yang kurang lurus semoga hatinya diluruskan dalam barisan orang-orang yang ikhlas.

Beruntunglah karena Allah Subhanahuwata'ala memuliakan kalian yang hadir di Majelis ini. Barangsiapa yang terharamkan mendampingi para Ulama dan Auliya Allah di dunia maka terharamkan baginya mendampingi di akhirat.

Fir'aun pada masanya binasa karena kesombongannya. Dia ingin mencela Nabi Musa dengan celah kesalahan ucapan Nabi Musa. Tapi Allah menjaga segala ucapan Nabi Musa dengan ucapan-ucapan yang baik.

Allah Subhanahuwata'ala menjelaskan kebinasaan Fir'aun dan bala tentaranya di dalam Al Qur'an. Apakah semua hartanya dan kekuasaannya masih bermanfaat bagi dirinya setelah binasa? TIDAK.

Karena segala sesuatu yang indah dan bagus akan selalu milik kaum Sholihin.

Ada dua buah nama yang tertulis di tiang-tiang Arsy-Nya Allah Subhanahuwata'ala, yang pertama ALLAH SUBHANAHUWATA'ALA dan yang kedua NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WASALLAM.

Ketika datang Hari Kiamat, Nabi Musa bergelantungan di tiang-tiang Arsy, namun ketika Rasulullah datang Nabi Musa turun dan mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Semua para Nabi, para Shiddiqin, para Kaum Sholihin, di bawah bendera Nabi Muhammad.

Demi Allah tidak ada satu orang pun masuk ke surganya Allah kecuali dia berada di bawah bendera Nabi Muhammad.

Mintalah kepada Allah agar kita berada di bawah bendera Nabi Muhammad, Semoga Allah mengumpulkan kita semua di bawah bendera Nabi Muhammad.

Orang-orang yang memegang teguh keimanan, mereka akan dikumpulkan bersama Rasulullah. Kita menjadi umat Nabi Muhammad tanpa paksaan. Allah yang menjadikan kita menjadi umat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Namun banyak dari golongan umat ini ketika wafat dalam keadaan tidak memegang iman. Semoga kita dijadikan sebaik-baik umat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Bagaimana cara menghadapi orang yang memusuhi agama kita pun telah diatur oleh Allah Subhanahuwata'ala.

Tidak ada sesuatu yang paling menyakitkan, kecuali sebuah penghinaan yang merendahkan Allah Subhanahuwata'ala, merendahkan Rasulullah, dan merendahkan Al Qur'an

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

*لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ*
_"Tidak benar keimanan seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri"_

Mereka membuat ucapan.

Tidak ada peluang untuk seseorang yang memusuhi Islam sebagaimana tidak ada peluang seseorang yang bertindak tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan Allah.

Kebanyakan orang yang mati syahid dari umatku ini adalah orang yang mati di atas kasur (keranjang), bahkan banyak para mujahid perang ketika wafat belum tentu hatinya niatnya tulus karena Allah Subhanahuwata'ala.

Sabarkanlah dirimu untuk duduk bersama orang yang berdoa tulus kepada Allah Subhanahuwata'ala.

Rendahkan dirimu untuk mencari Allah, siapa yang mengangkat kalian berkumpul disini.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

بَادِرُوا فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ. يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا.
_“Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.”_

Jagalah hati kita agar tidak tergantung kepada dunia, karena sesungguhnya fitnah-fitnah dunia ini disebabkan kepada cinta dinar dan dirham, cinta kepada jabatan dan kekuasaan.

Indonesia negeri Muslim paling banyak di dunia, yang dibawa oleh para Ulama dan keturunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Hati-hati dengan adu domba yang terjadi, sebab di dalam perpecahan tersebut ada tangan-tangan yang bermain baik dari sesama umat Islam sendiri maupun dari tangan umat lainnya agar Islam hancur binasa.

Baik kekuatan Islam dari sisi keilmuan, sisi ekonomi, dan kekuatan lainnya, akan dipecah dengan fitnah dan adu domba.

Hendaknya para Muslimin di Indonesia MEWASPADAI benih-benih perpecahan yang disebabkan adu fitnah dan domba. Pasanglah iman dan ketakwaan yang tinggi. Jangan saling bertikai, jangan saling bertentangan, jangan saling menikam sesama umat Islam.

*Banyak pertanyaan kepada saya apakah saya harus keluar untuk demo atau tidak?*

Dan sesungguhnya sumbernya entah mau berdemo atau lainnya, selama hal tersebut yang tidak dilarang oleh Allah Subhanahuwata'ala dan selama tidak menimbulkan perpecahan bagi umat Islam, maka silahkan agar jangan sampai bertikai bagi yang berdemo dan yang tidak berdemo.

Hendaknya Kaum Muslimin memahami bahwa kita mengagungkan Agama Allah dengan TIDAK MENCACI berhala-berhalanya umat Non Muslim agar mereka tidak mencaci Allah Subhanahuwata'ala.

Baik yang keluar untuk demo TIDAK BOLEH mencaci dan tidak boleh melanggar aturan dan perintah agar tidak mengganggu yang lainnya.

Sebagaimana pemerintah tidak boleh melarang mereka yang berdemo dengan cara-cara yang tidak benar, selama mereka berada di jalur yang sesuai syariat Allah Subhanahuwata'ala.

Silahkan kalian berdemo tetapi JANGAN MENCACI, JANGAN MENDENGKI, dan JANGAN MEMBENCI, karena apabila dilakukan justru membuat semakin RUNYAM.

Begitulah orang yang tidak berdemo, TIDAK BOLEH mencela orang yang berdemo.

Kita berpesan pada mereka agar mereka BERDEMONSTRASI YANG DAMAI, DENGAN CARA YANG BAIK.

Kita berpesan pada mereka yang TIDAK BERDEMONSTRASI bahwa mereka lebih mencari keamanan bagi dirinya, kedamaian bersama, dan jangan lupa berdoa agar ISLAM tetap terjaga kemuliannya hingga akhir nanti.

Ini yang KAMI PAHAMI dari caranya Nabi Muhammad dan caranya Para Sahabat dan Para Tabi'in.

Kami TIDAK AKAN mengajak masa kepada Partai manapun sebab kami hanya mengajak kepada Allah Subhanahuwata'ala.

Kita takut wajah kita akan menjadi hitam jika kami salah mengambil pilihan karena memilih orang yang tidak diridhoi Allah Subhanahuwata'ala.

Kami mengajak kepada Allah kepada semua partai semua pejabat pemerintahan dan semua kaum Muslimin, untuk memakai akal sehat agar menggunakan cara-cara yang baik.

Tugas para ulama untuk mengajak umat kepada Allah Subhanahuwata'ala, ulama bukan menjadi barang dagangan untuk memuluskan kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Kalau seandainya para pemimpin negara itu pantas untuk menjadi kendaraan menuju Surganya Allah maka aku akan mengikutinya.

Arahkan hati kalian untuk menuju Rahmat Allah Subhanahuwata'ala, marilah kita bersama menghadap kepada Allah Subhanahuwata'ala.

Ya Allah jauhkanlah Indonesia dari segala perpecahan dan musibah. Amiin...

Ya Allah jadikanlah hawa nafsu kami ikut kepada apa yang diinginkan oleh Allah Subhanahuwata'ala. Amiin...

Apabila ada sebagian dari anda untuk mengabarkan perkataan kami, SILAHKAN kutip secara lengkap, jangan sepotong-potong untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompoknya sehingga menimbulkan perpecahan.

Kami memohon kepada Allah Subhanahuwata'ala agar kami wafat dalam keadaan Khusnul Khotimah.

_______________________
Demikian Pidato
Al Habib Umar bin Hafidz  dan beliau menyampaikan doa panjang tentang pengagungan kepada Allah Subhanahuwata'ala, dan mengharapkan ampunan dan ridho dari Allah Subhanahuwata'ala. Amiin Ya Robbal 'Alamiin.

aswajamuda.com

_Sebarkan sebanyak-banyaknya_
*Manfaat-Berkah-Istiqamah*

Aksi Bela Islam II

Bismillahirrohmanirrohim

Miris saya melihat mereka mereka yang mengaku Umat Islam yang toleran, yang mengaku cinta damai dan bla..bla..bla.., tapi mencibir mayoritas umat islam yang akan turun pada Aksi Bela Islam II ditanggal 4 November nanti.

Padahal, hampir semua Habaib dan Kyai, yang tua dan muda yang bisa dibilang mereka mereka itulah yang mayoritas menjadi rujukan umat pun merestui dan mendukung bahkan siap ikut turun pada waktunya nanti.

Yang lebih miris lagi, mereka mereka yang mengolok olok sok bergaya bijak tetapi justru dari merekalah datang potensi perpecahan umat. Bahkan lebih parahnya, ada beberapa dari mereka yang mencatut nama nama ulama besar semisal Habib umar untuk dibenturkan dengan ulama lainnya yang mendukung aksi bela Islam II tersebut. Ternyata, setelah ditelusuri dan ditabayun, apa yang mereka sebarkan itu hanya "propaganda " mereka untuk menggembosi umat dan mengadu domba antar ulama dengan mencatut nama nama ulama yang berpengaruh. Ittaqullah...Taubatlah kalian kepada Allah....!!!

Kalau anda tidak mau ikut, itu hak anda, tapi jangan anda seenaknya berkomentar miring apalagi sampai melecehkan yang ikut serta. Ingat para peserta bukan hanya dari kalangan awam tetapi banyak pula ulama ulamanya, yang tentunya mereka paham akan ilmu.

Jika anda masih tidak bisa diam, maka sebaiknya anda mencari kegiatan yang lebih bermanfaat ketimbang melakukan penggembosan terhadap umat karena umat islam cerdas dan tidak akan terpengarh dengan penggembosan orang orang yang tidak punya pekerjaan manfaat macam kalian.

Bekasi, 31 Okt 2016

Salim Bin Idrus Alatas
( Ketua DPW FPI BEKASI RAYA )

DINASTI BUWAIHIYAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Sejarah Kebudayaan Islam yang diampu oleh
Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M. Hum

 




disusun oleh: 
Kamalia Istifadati





Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1438 H / 2016 M
 








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dinasti Buwaihiyyah adalah salah satu Dinasti Abbasiyyah yang beraliran Syi’ah yang muncul pada 334 H/945 M. Dinasti ini muncul sebagai pemegang kekuasaan di Irak dan Iran Barat yang didahului oleh suatu periode perpecahan di dalam kerajaan Abbasiyyah, lepasnya kendali kekuasaan khalifah, dan meluasnya perselisian masyarakat di ibukota Baghdad. Pada zaman itu, Kerajaan Islam terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil (disintegrasi). Kondisi ini dengan tepat dibandingkan oleh Al-Ma’udi dengan dinasti-dinasti kecil (muluk al-thawaif) di Diadochi, yang bermunculan menyusul kematian Alexander. Irak misalnya berada di bawah kontrol efektif Amir al-Umara (panglima tertinggi) Ibn Ra’iq, tempat khalifah Abbasiyyah kehilangan kekuasaan eksekutif yang sesungguhnya. Pada awal kemunculannya, Buwaihiyah menguasai seluruh Fars, Ray, Isfahan, dan Jibal.[1]
Pada masa kekuasaan dinasti Buwaihiyyah ini, khalifah hanya merupakan simbol persatuan, sedangkan roda pemerintahan dipegang oleh amir al-umara atau perdana menteri. Khalifah hanya menjadi boneka dan tidak mempunyai kekuasaan untuk memerintah kerajaan. Amir al-Umara berkuasa penuh atas pemerintahan bahkan menentukan kebijakan yang menguntungkan kerajaan. Satu hal yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana sebenarnya kronologis terjadinya dinasti Buwaihiyyah tersebut, sampai-sampai Amir al-Umara mampu memerintah melebihi seorang Khalifah.[2]




B.     Rumusan Masalah.
1.      Bagaimana Sejarah  Berdirinya Dinasti Buwaihiyyah ?
2.    Mengetahui Wilayah Kekuasaan Dinasti Buwaihiyyah.
3.    Bagaimana Penyelenggaraan Pendidikan pada masa Dinasti Buwaihiyyah?
4.    Siapa saja Tokoh-tokoh Cendikiawan Dinasti Buwaihiyyah?
5.    Apa saja Peninggalan Dinasti Buwaihiyyah ?

C.     Tujuan Penulisan.
Sehubungan uraian di atas, Selain penyusun menulis untuk memenuhi tugas, penyusun juga  berharap semoga makalah ini bisa menjadi salah satu rujukan pembaca dalam  memahami Sejarah  Pendirian, Wilayah Kekuasaan, Penyelenggaraan Pendidikan, Tokoh-tokoh Cendikiawan dan Peninggalan Dinasti Buawaihiyyah.













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Berdirinya Dinasti Buwaihiyyah  (334 H/945 M – 447 H/l055 M)
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, terjadi perebutan kekuasaan, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena, khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan, kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka.
Tentara Turki berhasil merebut kekuasaaan tersebut.[3] Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (945M - l055 M), Daulah  Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih.
Dinasti ini muncul di Irak dan Iran Barat yang diawali dengan peristiwa perpecahan di tubuh Dinasti Abbasiyah. Sejarah mencatat bahwa orang-orang Buwaihiyyah adalah Suku Dailami yang berasal dari kabilah Syirdil Awandan, dan dataran tinggi Jilan sebelah selatan Laut Kaspian. Suku Dailami merupakan orang-orang yang kuat dan terkenal karena kekerasan mereka, yang dikaruniai semangat kebebasan yang tinggi. Mereka dapat bertahan dengan baik di benteng pertahanan yang sekaligus digunakan sebagai sarana latihan. Benteng itu terletak di lereng gunung dengan nama Elburz yang secara efektif membentengi mereka dari arah selatan.[4]
Dinasti Buwaihiyyah didirikan oleh tiga bersaudara dari putra-putra Abu Syuja' Buwaih(Buya), pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam yaitu; Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini (Ali, Hasan dan Ahmad) memasuki dinas militer yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki. Pada mulanya mereka bergabung dengan pasukan Makan Ibn Kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam dari Dinasti Saman. Di profesinya yang baru itu, Ali dan Ahmad berkedudukan sebagai panglima perang bersama pasukannya Makan Ibnu Kali. Setelah pamor Makan Ibn Kali memudar, mereka kemudian berpindah ke kubu panglima Mardawij Ibn Zayyar Ad-Dailamy . Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur Al-Karajdan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari Al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal (terbunuh pada tahun 943 M), Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu berhasi menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Rayy, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, Ar-Radhi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke IrakAhwaz danWasith.[5]
Dari sinilah, pasukan Buwaih dengan mudah memasuki Baghdad untuk menguasai pusat pemerintahan Abbasiyah. Ketika Baghdad sedang dilanda kekacauan politik  akibat perebutan jabatan Amir al-Umara  antara Wazir dan komandan  militer. Pihak militer meminta bantuan Ahmad al Buwaihiyyah yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan tersebut dikabulkan dan Ahmad bersama  pasukannya tiba di Baghdad pada Jumadil Ula 334 H/945 M, ia disambut oleh khalifah dan diberikan kedudukan sebagai Amirul-Umara serta diberi gelar “Mu'izz Ad-Daulah”. Saudaranya yang bernama Ali disahkan berkuasa di daerah Selatan Persia dengan pusatnya di Syiraz dengan gelar “Imam Ad-Daulah”, sedangkan Hasan  memerintah di daerah utara, Isfahan dan Ray dan diberi gelar “Rukun Ad-Daulah”. Setelah berhasil menguasai Baghdad dengan mengusir kekuatan militer Turki Bani buwaihiyyah segera memindahkan pusat pemerintahnya dari Syirad ke Baghdad.[6]
Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini, para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal nama saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbasiyyah adalah Sunni. Selama masa kekuasaan Bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakan tentara, dan sebagainya.
Setelah Bani Buwaihi memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad, mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Daral-Mamlakah. Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali Ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuasaan militer Bani buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakkan diri dari Baghdad seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad.[7]
B.    Wilayah Kekuasaan Dinasti Buwaihiyyah
Dinasti Buwaihiyyah merupakan putra-putra yang berasal dari suku Dailam yang menempati daerah pegunungan di sebelah barat daya laut Kaspia. Dinasti ini muncul sebagai pemegang kekuasaan di Irak dan Iran Barat yang didahului oleh suatu periode perpecahan di dalam kerajaan Abbasiyyah. Mereka terdiri dari Ali bin Buwaih yang berkuasa di Isfahan, Hasan bin Buwaih yang berkuasa di Ray dan Jabal. Dan Ahmad bin Buwaih yang berkuasa di al-Ahwaz dan Khuzistan.[8] Kekuasaan Buwaihiyyah membentang dari laut Caspia sampai dengan lembah Gulf, dan membentang dari Isfahan hingga mencapai wilayah perbatasan Persia.[9]



C.    Penyelenggaraan Pendidikan Pada masa Dinasti Buwaihiyyah
Kekuasaan Buwaihiyyah mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan ‘Addud  Ad-Daulah (949-983). Hal yang menarik  yang bisa kita banggakan dalam pola dan tatanan kehidupan masyrakat pada masa Dinasti ini. Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa Bani Buwaih juga mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Para pangeran dan wazir Dinasti ini menjadi contoh dalam memberikan dukungan terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Pada masa tersebut, Baghdad sebagai tempat berkembangnya Dinasti tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat. Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan.  Kedekatannya dengan para Ilmuan menjadikan loyalita mereka terhadap pemerintahan sangat tinggi. Istana pemerintahan pernah dijadikan sebagai tempat pertemuan Ilmuwan saat itu. Bahkan saat itu dibangun Rumah sakit besar yang terdiri dari 24 orang dokter, dan digunakan juga sebagai tempat Praktek mahasiswa Kedokteran saat itu.  Di bidang sastrawan para penguasa saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan para sastrawan untuk menyampaikan syair-syair indahnya di istana. Sehingga bukan sebuah keanehan jika sarjana dan penyair sering kali melakukan pengembaraan dari satu istana menuju istana yang lain.
Para penguasa pun sering mengumpulkan para kerabatnya dalam sebuah majlis atau pertemuan untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan seperti; ilmu kalam, hadits, fikih, kesusastraan dan lain sebagainya dengan dipandu oleh para guru yang diundang secara khusus ke dalam istana.[10]
Selain di istana, pertemuan dalam membahas ilmu pengetahuan juga diselenggarakan di masjid-masjid, rumah-rumah pribadi, kedai-kedai, alun-alun bahkan di taman-taman kota. Laporan yang beragam menyebutkan pertemuan-pertemuan yang diadakan di bawah atap terbuka (thaq) dan pintu gerbang (bab). Atap terbuka atau pintu gerbang tersebut mencakup wilayah-wilayah di sekelilingnya. Pasar-pasar juga dipergunakan untuk diskusi, umpamanya, Pasar (Suq) Yahya bin Khalid di Baghdad, sering disebutkan. Bahkan kamar-kamar mandi umum dimanfaatkan pula untuk melakukan obrolan-obrolan ilmiah, tentu saja sepadat mungkin mengindari masalah-masalah keagamaan. Yang paling terkenal dari forum-forum akademis yang tidak resmi adalah toko buku yang menjamur di Baghdad selama masa Abbasiyyah. Pemiliknya adakalnya orang-orang yang berpengetahuan, seperti yang dibuktikan oleh contoh-contoh dari Ibn Al-Nadim dan Yaqut. Suq al-Warraqin (Pasar para Pedagang Buku) sering disebutkan sebagai tempat pertemuan para sarjana. Selain itu, kedai-kedai lain, rumah tempat celupan, banyak digunakan sebagai tempat orang terpelajar bertemu dan banyak masyarakat duduk di depan pintu menyimak ceramah yang disampaikan para ahli, seperti Abu Abdullah bin Ya’kub.
Tidak hanya itu, istana-istana para raja dan wazir juga digunakan sebagai tempat kegiatan ilmiah. Yakni untuk keperluan majelis al-munadzarah (pertemuan dialog) atau mujadalah (perdebatan), yaitu sidang pembahasan, atau pertemuan untuk berbagai perlombaan. Raja dan para pengiringnya, tidak diragukan lagi, sangat senang menyaksikan para filolog, penyair, ahli bahasa, teolog, dan filosof melakukan perdebatan, mirip dengan raja-raja Romawi yang menyaksikan pertarungan para gladiator, atau kerajaan Abad Pertengahan menyaksikan pertarungan para kesatria di atas panggung kuda dengan mempergunakan tombak. Istana-istana para pejabat pemerintahan juga dipergunakan untuk diskusi-diskusi yang lebih santun mengenai masalah-masalah ksusasteraan dan filsafat. [11]

D.    Tokoh-tokoh Cendikiawan Dinasti Buwaihiyyah
Sebagaimna para khalifah Abbasiyyah periode pertama, para penguasa Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusatraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya, al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Al-Farghani,  Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa,[12] Al-Kindi, Sijistani, Nadhim, Al-Amiri, Ibn Rusyd.  Dan pada masa ini  dilakukan penerjemahan terhadap ratusan karya-ilmiah Yunani-Romawi ke bahasa Arab oleh Hunain Ibn Ishaq, penerjemah Kristen Nestorian, Yuhanna ibn al-Hailan dan sebagainya. Yang bertempat di Baghdad dan Iran sebagai pusat peradaban Islam dengan beragam istana, dibawah kontrol dinasti Buwaih yang dipimpinan oleh 'Adhud Al-Daulah.[13] 

     Karya-karya Ilmuan besar diantaranya:
1).  Al-Farabi (w.950 M)
Al-Farabi lahir di Wasi, sebuah desa di Farab wilayah Transoxania pada tahun 258 H/870 M dan wafat di Aleppo (Suria) pada tahun 339 H/950 M. Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag  al-Farabi, ia selalu berpindah tempat dari waktu ke waktu. Ia dikenal rajin belajar serta memiliki otak yang cerdas. Al-Farabi banyak belajar agama, bahasa Arab, bahasa Turki, dan bahasa Persia. Setelah dewasa, ia pindah ke Baghdad dan tinggal di sana selama 20 tahun serta mempelajari filsafat, logika, matematika, etika, ilmu politik dan musik. Al-Farabi mengarang beberapa buku dalam berbagai bidang di antaraya logika, fisika, ilmu jiwa, kimia, ilmu politik, dan musik. Beberapa di antara karya al-Farabi yang termasyhur adalah sebagai berikut:
1.      Al-Jam’u Baina Ra’yi al-Hakimaini (memeprtemukan dua pendapat filsuf, Plato dan Aristoteles)
2.      Uyun al-Masa il ( pokok-pokok persoalan)[14]
3.      Fusus al-Hikam
4.      Al-Mufarriqat
5.      Ara’u Ahl al-Madinah al-Fadhilah[15]
2). Ibnu Sina (980-1033M)
Ibnu Sina dilahirkan di Afsyanah, Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal di Hamdan pada tahun 1037 M. Nama lengkapnya adalah Abu al-Husain bin Abdullah bin Sina. Ia merupakan seorang dokter dan filsuf Islam ternama. Di Barat ia terkenal dengan nama Avicenna. Sejak kecil, Ibnu Sina mempelajari Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama.setelah itu, ia mempelajari matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, metafisika dan kedokteran.
Profesinya di bidang Kedokteran dimulai pada usia 17 tahun ketika ia berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur, salah seorang penguasa Dinasti Samaniyah. Pada masa Dinasti Hamdani, ia dua kali menjabat sebagai menteri. Kebesaran Ibnu Sina terlihat pada gelar yang diberikan kepadanya. Di bidang filsafat ia digelari asy-Syaikh ar-Ra’is (Guru Para Raja). Di bidang kedokteran ia digelari pangeran para doker.
Ibnu Sina meninggalkan tidak kurang dari 200 karya tulis. Kebanyakan tulisan itu menggunakan bahasa Arab, sedangkan sebagian lain menggunakan bahasa Persia. Buku-bukunya yang terkenal, antara lain:
1. Asy-Syifaa’ (penyembuhan)
2. Al-Qananuun fit-Tibb (peraturan-peraturan dalam kedokteran)
3. Al-Isyaarat wa at-Tanbiihaat (isyarat dan penjelasan)
4. Manthiq al-Masyriiqiyyiin(logika timur)[16]
Ibnu Sina telah menghasilkan beberapa karya monumental di bidang ilmu pengetahuan,. Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ketika berbicara tentang pemikiran Islam atau ilmu pengetahuan Islam, maka tidak terlepas dari kontribusi Ibnu Sina. Bahkan dapat dikatakan bahwa berbicara tentang Ibnu Sina berarti berbicara tentang pemikiran dan kejayaan Islam.[17]
3). Ibnu Maskawaih (w.1030M)
Ibnu Maskawaih lahir pada tahun 941 M dan meninggal pada tahun 1030 M. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Maskawaih. Ia adalah penjaga buku-buku koleksi wazir al-Muhallabi. Kemudian bekerja pada wazir Ibn al-’Amid dan al-Fath, putra al-’Amid di era ‘Adud ad-Daulah dari Dinasti Buwaihi. Kariernya semakin cermelang sat menjadi pejabat di kota Ray. Maskawaih dikenal berintegrasi dan lugas dalam mengungkapkan pikiran-pikirannya. Sejak muda ia telah mendalami filsafat, kedokteran, dan kimia.
Karya monumentalnya di bidang sejarah, Tajarub Al-Umam, mengupas masa Dinasti Abbasiyyah sejak tahun 295 H (masa Khalifah Al-Muqtadir) hingga 369 H termasuk kondisi sosial, konflik-konflik, dan konflik Abbasiyyah dengan wilayah-wilayah sekitarnya seperti Byzantium. Selain itu, juga mengupas sejarah Dinasti Buwaih dan dinilai sebagai sumber orisinal mengenai sejarah Islam di masa kritis tersebut teutama yang berkaitan denngan sejarah sistem administrasi, moneter, dan kemileteran. Karya Maskawaih ini telah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Margoliouth dan Amedroz dengan judul The Eclipse of the Abbasid Caliphate dan dipublikasikan pertama kali di London (1920-1921).[18] Karya-karya Ibnu Maskawaih yang lain sebagai berikut:
1.      Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, sebuah kitab yang mendeskripsikan  etika dan filsafat social masyarakat terdahulu. Suatu bentuk pemilihan antara perilaku yang sesuai dengan syari’at  dan perilaku yang menyimpang,  beberapa pengalaman hidup yang dilaluinya, dan jalan metodologis kearah etika yang baik.
2.      Kitab al-Sa’adah, sebuah kitab filsafat etika yang menjadi orientasi semua manusia. Kitab ini disusun sebagai hadiah bagi ibn al-Amid, gurunya di ray.
3.      Kitab Fawz al Khabir, sebuah kitab pegangan untuk mmperoleh “keuntungan” yang besar dalam sekolah kehidupan.
4.      Kitab Fawz al-Shagir, sebuah kitab pengangan untuk kehidupan sehari-hari.
5.      kitab Jawidan Khard, sebuah kitab Persia yang berisi tentang hikmah-hikmah dan     sastra.
6.       kitab Uns al-Farid, sebuah kitab ringkasan yang didalamnya dibahas kisah-kisah, syair-syair, hikmah-hikmah, dan perumpamaan-perumpamaan.
7.      kitab al Sayr,  sebuah kitab sejarah perjalanan seseorang dan bagai problematika yang dihadapinya, serta dibubuhkan pula jalan keluarnya.
8.      kitab al Mustwfa, sebuah kitab berisi syair-syair pilihan.
9.      kitab al-Adwiyah al-Mufrodah, al Asy Ribah, fi Tarqibal-Bajat min al-Ath’imah, semuanya berbicara mengenai kedokteran, kesehatan dan gizi yang baik untuk manusia.
4). Al-Afghani
Beberapa karyanya
1.      Dibidang politik, yang mengajarkan bahwa semua umat Islam harus bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah untuk membebaskan mereka dari penjajahan Barat.
2.      Dibidang Agama,  Jamaluddin al-Afghani berpendapat, bahwa kesejahteraan umat Islam tergantung
a)      Akal manusia harus disinari dengan tauhid, membersihkan jiwanya dari kepercayaan Tahyul
b)      Orang harus merasa dirinya dapat mencapai kemuliaan budi pekerti yang utama
c)      Orang harus menjadikan aqidah, sehingga prinsip yang pertama dan dasar keimanan harus diikuti dengan dalil dan tidaklah keimanan yang hanya ikutan semata (taqlid).
3. Ajarannya tentang Qada dan Qodar
Menurut al-Jabr (fatalism), qada dan qodar adalah penyerahan diri secara mutlak tanpa usaha dan ini suatu ajaran baru (bid’ah) dalam agama yang dimasukkan dalam ajaran Islam oleh musuh Islam untuk suatu tujuan politik tertentu agar Islam hancur dari dalam.
5). Al-Masudi (956)
Nama lengkapnya adalah abu al-Hasan ‘Ali ibn Husayn ibn Ali (Baghdad – Fustat, Mesir 956 M. Ia adalah seorang sejarawan dan ahli geografi, ahli geologi, dan ahli zoology Muslim; juga mempelajari ilmu kalam (teologi), akhlaq, politik, dan ilmu bahasa. Singkatnya, dia adalah seorang tokoh eksiklopedik dalam sains Islam, tetapi sangat dikenal sebagai seorang ahli geografi dan sejarah. Buku-buku Karyanya adalah: Kitab Akhbar az-Zaman (sejarah dunia), Kitab al-Ausat (tentangn sejarah umum) kemudian kedua kitab tersebut digabung menjadi kitab Muruj adz-Dzahab wa Ma’adin (Meadows of Gold and Mines of Precious Stones), Kitab at-Tanbih wa al-Isyraf (tentang filsafat alam dan teori evolusi).
6). Abu ar-Rayhan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (973-1048)
Nama lengkapnya adalah Abu ar-Rayhan Muhammad bin Ahmad al-Biruni. Dia lahir di Khawarizm, Turkmenia pada bulan Dzulhijjah 362 H/973 M dan meninggal duniaa di Ghazna pada bulan Rajab 448 H/1048 M. Ia mahir matematika, astronomi, fisika, sejarah, geografi, bahasa, dan budaya. Buku-buku karyanya tentang sejarah peradaban India yaitu: Tahqiq ma li al-Hind min Maqulah Maqbulah fi al-Aql Au Mardzulah, Tarikh al-Umam asy-Syaqiyah, dan Tarikh al-Hind (sejarah Hindia). Karyanya dalam bidang matematika, Kitabal-Qanun al-Mas’udi fi al-Haya wa an-Nujum (astronomi geografi dan matematika). Dalam bidang filsafat, al-Irsyad, Tahdid Nihayat al-Amakin Litashih Masafat al-Masakin, dll. Beliau telah menulis karyanya sampai 138 karya.
7). Abdurrahman bin Umar as-Sufi Abu Husayn
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Umar as-Sufi Abul Husayn. Ia lahir tahun 903 M (291 H) di Rayy, Persia. Ia seorang astronom terkenal yang bekerja di istana bersama amir Adud al-Dawla. Karyanya yang terkenal adalah Kitab al-Kawakib ats-Tsabit al-Musawwar (tentang catalog bintang). Karya lainnya yang telah diilustrasi kembali seperti Notices at Extraits (oleh Causin de Parceval), Description des Etoiles Fixes par Abd al-Rahman as-Sufi (oleh H.C.F.C Schjellerup di St. Petersburg, 1874). Beliau meninggal pada tahun 986 M/376 H.
8). Abu Ali al-Hasan bin al-Haytsam al-Basri al-Misri
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Hasan bin al-Haytsam al-Basri al-Misri. Masyarakat Barat lebih mengenalnya dengan sebutan (al-Hazen 1973), Avenalan, Avenetan. Lahir tahun 1038 di Basrah, Irak. Ia adalah ahli fisika dan matematika terbaik. Selain itu ia menguasai beragam ilmu, seperti fisika, astronomi, matematika, pengobatan, dan filsafat. Pendidikan tingginya ia tempuh di Universitas Al-Azhar. Karya beliau dibidang Optik yaitu: Kitab fi Al-Manasit (Kamus Optika), buku-buku tentang lingkaran cahaya dan gerhana, tentang astronomi dll. Beliau wafat tahun 1039 M.
         
 Tokoh-tokoh Kesusastraan Bahasa arab dan fersia
1.      Al-Ashfani, Abu al-Faraj (897-966)
2.      Badi al-Zaman al Hamadzani (933-1007)
3.      Abu Hayyan at-Tauhidi (1018)
4.      Daqiqi (1020)
5.      Rudaqi (930-an)
6.      Al-Firdausi, Abu al-Qosim (920-1020)
7.      Abu Sa’id ibn Abi al-Khair (1049)[19]

E.    Peninggalan Dinasti Buwaihiyyah
Kekuasaan Bani Buwaih berlangsung selama 110 tahun, yaitu dari tahun 945-1055 M. Banyak kemajuan yang dicapai selama pemerintahan lebih seabad itu. Para ahli sejarah sepakat bahwa kemajuan dan kejayaan dinasti Buwaih diperoleh ketika pemerintahan Adud ad-Daulah. Philip K. Hitti juga mencatat peran penting Bani Buwaih dalam pembangunan di kota Baghdad. Menurut Hitti, di era kekuasaannya, para penguasa Buwaih berhasil memperindah kota Baghdad, memperbaiki dan membuat saluran air, mendirikan masjid Negara, rumah sakit umum, dan gedung-gedung pemerintahan. Gedung yang paling menarik adalah sebuah rumah sakit yang diberi nama Bimaristanbal-Adudi. Rumah sakit tersebut dibangun dengan menelan biaya 100.000 dinar atau dua juta dirham; memiliki 24 dokter ahli yang sekaigus menjadi guru besar di fakultas kedokteraan.[20] Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi; pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.[21]
Menurut Ensiklopedi Britannica Online, penguasa Buwaih sempat membangun bendungan jembatan yang membelah Sungai Kur dengan Shiraz. Jembatan itu mampu menyambungkan Dinasti Buwayh dengan  kerajaan lainnya seperti Samanid, Hamdaniyah, Bizantium dan Fatimiyah. Penguasa Buwaih pun turut menopang geliat seni dan kesusasteraan.[22]
Perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, Adud ad-Daulah (977-982) yang semua buku-bukunya disusun di atas lemari-lemari, didaftar dalam katalog, dan diatur dengan baik oleh staf administrator yang berjaga secara bergiliran.[23]









BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Bani Buwaih adalah  salah satu bentuk kejayaan pada masa Bani Abbasiyah pada periode ketiga walaupun khalifah Bani Abbas hanya sebagai simbol saja tapi rakyat pada masa itu sejahtera seperti pada masa periode pertama. Ini adalah salah satu bentuk keberhasilan dari tiga bersaudara yang mendirikan daulah ini yaitu Ahmad, Ali dan Hasan.
Selain berhasil dalam menciptakan kesejahteraan rakyatnya, Bani Buwaih juga berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dalam berbagai ilmu seperti astronomi, kedokteran, teologi dan sebagainya.
Namun seperti apapun bentuk keberhasilan yang Bani Buwaih raih tak lepas dari usaha dan kerja keras dari ketiga bersaudara tersebut. Tidak hanya itu suatu Daulah akan berjaya jika hubungan antara para khalifah atau para amirnya selalu terjalin baik.  Hal ini terbukti pada Daulah ini.













                                                   

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya. Jakarta : Rajawali Pers. 2012.
Subki, A’la dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Untuk Tsanawiyah. Klaten: CV. Gema Nusa, t.th.
http://www.slideshare.net/ReplianisAni/bani-buwaihi, diakses 10 September 2016, jam 21:28
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pres. 2004.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam.  Bandung: Pustaka Setia. 2008.
Saefuddin, Didin. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: UIN Jakara Press. 2007.
K, Ali. Sejarah Islam dari Awal hingga Runtuhnya Dinasti Usmani (tarikh pramodern). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1997.
Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.


[1] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hlm. 223.
[2] Muhammad Fathurrohman, ”Dinasti Buwaihi dan Perkembangannya”, https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/12/13/dinasti-buwaihi-dan-perkembangannya/, diakses 09 September 2016, jam 13:15 WIB.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pres, 2004), hlm. 68-69.
[4] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hlm. 224.

[5]Majelis Penulis, “Akhir Sejarah Daulah Abbasiyah”, http://majelispenulis.blogspot.co.id/2012/03/akhir-sejarah-daulah-bani-abbasiyah.html, diakses 08 September 2016, jam 10:40 WIB.
[6] Muhammad Alim Ihsan, “Perkembangan Dakwah Dibidang Politik dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Ghaznawi, Buwaih dan Saljuk”, http://almishbahjurnal.com/index.php/al-mishbah/article/download/31/31, diakses 08 September 2016, jam 10:18 WIB.

[7] Muhammad Alim Ihsan, “Perkembangan Dakwah Dibidang Politik dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Ghaznawi, Buwaih dan Saljuk”, http://almishbahjurnal.com/index.php/al-mishbah/article/download/31/31, diakses 08 September 2016, jam 10:18 WIB.
[8] A’la Subki dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Untuk Tsanawiyah, (Klaten: CV. Gema Nusa) hlm. 9.
[9] Ali k, Sejarah Islam dari Awal hingga Runtuhnya Dinasti Usmani (tarikh pramodern), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997) hlm. 268-269.
[10] Replianis, “Pendidikan Pada Masa Buwaihi”, http://reolianis.blogspot.co.id/2012/10/pendidikan-pada-masa-buwaihi.html, diakses 10 September 2016, jam 02:42 WIB.
[11] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hlm. 228-229.
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 71.
[13] Replianis, “Pendidikan Pada Masa Buwaihi”, http://reolianis.blogspot.co.id/2012/10/pendidikan-pada-masa-buwaihi.html, diakses 10 September 2016, jam 02:42 WIB.
[14] A’la Subki dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Untuk Tsanawiyah, (Klaten: CV. Gema Nusa, t.th.), hlm. 26.
[15] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah, (Semarang: PT. Karya Toha, 2009), hlm. 46.
[16] A’la Subki dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Untuk Tsanawiyah, (Klaten: CV. Gema Nusa, t.th.), hlm. 27.
[17] Replianis, “Pendidikan Pada Masa Buwaihi”, http://reolianis.blogspot.co.id/2012/10/pendidikan-pada-masa-buwaihi.html, diakses 10 September 2016, jam 02:42 WIB.
[18] Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 154-155.
[19] Replianis, “Pendidikan Pada Masa Buwaihi”, http://reolianis.blogspot.co.id/2012/10/pendidikan-pada-masa-buwaihi.html, diakses 10 September 2016, jam 02:42 WIB.
[20] Didin Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: UIN Jakara Press, 2007), hlm. 87.
[21] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 71.
[22] Dinas Pendidikan, “Tinjauan Sosial Pendidikan Islam Pada Masa Bani Buwaihi”, http://www.slideshare.net/ReplianisAni/bani-buwaihi, diakses 10 September 2016, jam 21:28 WIB.
[23] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 136-137.