Cari di Blog Ini

Jumat, 21 November 2014

Makalah Undang-undang tentang Zakat



Tugas Fiqih






     Disusun oleh: Siti Amalia Fathan
Kelas            : XII-Agama
Judul tugas  : Undang-Undang Tentang Pengelolaan Zakat




MAN 22
Jl. H. Junaidi No.104 Palmerah
Jakarta Barat






Kata Pengantar

 Dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum dalam standar isi dan berperan sebagai acuan pendidikan, saya selaku murid MAN 22 membuat makalah tentang undang-undang yang mengatur pengelolaan zakat.

Setelah dilakukan perubahan sedemikian mungkin, saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu. Sehingga dapat digunakan untuk pembelajaran dalam rangka mengembangkan pembelajaran fiqih khususnya tentang pengelolaan zakat.

Setiap lembar dalam makalah ini, berisi tentang undang-undang untuk mengelola zakat dengan baik dan benar. Kemudian pada bagian akhir disajikan pendapat saya tentang undang-undang tersebut.

Menyadari masih terdapat kekurangan dalam makalah ini, maka saran dan usul yang membangun akan disambut dengan senang hati, terutama dari Pak Solihin, selaku guru yang menilai tugas yang saya buat.

Hanya kepada Allah SWT. saya memohon semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membaca.

Wallahu Waliyyut-Taufiq






Jakarta, 7 Oktober 2012




Siti Amalia Fathan



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011



TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT


Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa presiden Republik Indonesia menimbang:
a. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; bahwa menunaikan zakat merupakan
b. kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat       Islam;
c. bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan dayaguna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, sehingga perlu diganti;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat.

Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama dewan perwakilan rakyat republik Indonesia dan presiden republik Indonesia memutuskan menetapkan undang-undang tentang pengelolaan zakat.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.Pengelolaan zakat adalah kegiatan Perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
2. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
3. Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
4.Sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
5.Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat.
6.Mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat.
7.Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional.
8.Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disebut LAZ adalah Lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
9.Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disebut UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu mengumpulkan zakat.
10.Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
11.Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat dimanfaatkan untuk biaya operasional dalam pengelolaan zakat sesuai dengan syariat Islam.
12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.

Pasal 2
Pengelolaan zakat berasaskan:
a. syariat Islam;                   e. Kepastian hukum;
b.amanah;               f. Terintegrasi;
c.kemanfaatan;                   g. Akuntabilitas;
d.keadilan;

Pasal 3
Pengelolaan zakat bertujuan:
a. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat
b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.

Pasal 4
(1)Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah.
(2) Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   meliputi:  a.emas, perak, dan logam mulia lainnya;
                b.uang dan surat berharga lainnya
c.perniagaan;
d.perkebunan dan kehutanan;
e.peternakan dan perikanan;
f.pertambangan;
g.perindustrian;
h.pendapatan dan jasa;
i.rikaz.
(3) Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang dimiliki oleh muzaki perseorangan atau badan usaha.
(4) Syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) akan diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB II BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat,Pemerintah membentuk BAZNAS
(2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara.
(3) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.

Pasal 6
BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.

Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi:
a.perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
b.pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
c.pengendalian pengumpulan,pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
     d.pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
(2)Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat  bekerjasama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Bagian Kedua
Keanggotaan
Pasal 8
(1) BAZNAS terdiri atas 11 (sebelas) orang anggota.
(2) Keanggotaan BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 8 orang dari unsur masyarakat dan 3 orang dari unsur pemerintah.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur ulama, tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam.
(4) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditunjuk dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat.
(5) BAZNAS dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.

Pasal 9
Masa kerja anggota BAZNAS dijabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan.

Pasal 10
(1)Anggota BAZNAS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri.
(2)Anggota BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3)Ketua dan Wakil Ketua BAZNAS dipilih oleh anggota.

Pasal 11
Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai anggota BAZNAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 paling sedikit harus:
a.warga negara Indonesia;
b.beragama Islam;
c.bertakwa kepada Allah SWT;
d.berakhlak mulia;
e.berusia minimal 40 (empat puluh) tahun;
f.sehat jasmani dan rohani;
g.tidak menjadi anggota partai politik;
h.memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat
i.tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

Pasal 12
Anggota BAZNAS diberhentikan apabila:
a.meninggal dunia;
b.habis masa jabatan;
c.mengundurkan diri;
d.tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 bulan secara terus menerus
e.tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota.

Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota BAZNAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibantu oleh sekretariat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja sekretariat BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
BAZNAS Provinsi Dan BAZNAS Kabupaten/Kota

Pasal 15
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan zakat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota.
(2) BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.
(3) BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.
(4) Dalam hal gubernur atau bupati/walikota tidak mengusulkan pembentukan BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota, Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat membentuk BAZNAS provinsi atau kabupaten/kota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.
(5) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota melaksanakan tugas dan fungsi BAZNAS di provinsi atau kabupaten/kota masing-masing.

Pasal 16
(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dapat membentuk UPZ pada instansi pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Lembaga Amil Zakat
Pasal 17
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal 18
(1)Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
(2)Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:
a.terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
b.berbentuk lembaga berbadan hukum;
c.mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d.memiliki pengawas syariat;
           e.memiliki kemampuan teknis, administratif dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
f.bersifat nirlaba;
g.memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan   umat;
h.bersedia diaudit syariah dan diaudit keuangan secara berkala.

Pasal 19
LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.

Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan organisasi, mekanisme perizinan, pembentukan perwakilan, pelaporan, dan pertanggungjawaban LAZ diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PENGUMPULAN, PENDISTRIBUSIAN, PENDAYAGUNAAN, DAN PELAPORAN

Bagian Kesatu
Pengumpulan
Pasal 21
(1)Dalam rangka pengumpulan zakat, muzaki melakukan penghitungan sendiri atas kewajiban zakatnya.
(2)Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri kewajiban zakatnya, muzaki dapat meminta bantuan BAZNAS.

Pasal 22
Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.

Pasal 23
(1) BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki.
(2) Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Pasal 24
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pendistribusian
Pasal 25
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai syariat Islam.

Pasal 26
Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.

Bagian ketiga
Pendayagunaan
Pasal 27
(1)Zakat dapat didayagunakan untuk  usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
(2)Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Pengelolaan Infak, Sedekah, Dan Dana Sosial keagamaan Lainnya

Pasal 28
(1)Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana social keagamaan lainnya.
(2)Pendistribyusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi.
(3)Pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya harus dicatat dalam pembukuan tersendiri.

Bagian Kelima
Pelaporan
Pasal 29
(1)BAZNAS kabupaten/kota wajib menyampaikan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS provinsi dan pemerintah daerah secara berkala.
(2)BAZNAS provinsi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala.
(3)LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala.
(4)BAZNAS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya kepada Menteri secara berkala.
(5)Laporan neraca tahunan BAZNAS diumumkan melalui media cetak atau media elektronik.
(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan BAZNAS kabupaten/kota, BAZNAS provinsi, LAZ, dan BAZNAS diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 30
Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil.

Pasal 31
(1)Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil.
(2)Selain pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Pasal 32
LAZ dapat menggunakan hak amil untuk membiayai kegiatan operasional.

Pasal 33
(1)Pembiayaan BAZNAS dan penggunaan Hak Amil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(2)Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 34
(1)Menteri melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ.
(2)Gubernur dan Bupati/Walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ sesuai dengan kewenangannya.
(3)Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi.

BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 35
(1)Masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ.
(2)Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka:
  a.meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat melalui   BAZNAS dan LAZ;
  b.memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS dan LAZ.
(3)Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk :
     a.akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ;
b.penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.

BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 36
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 29 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara dari kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
LARANGAN

Pasal 37
Setiap orang dilarang melakukan tindakan memiliki, menjaminkan, menghibahkan, menjual, dan/atau mengalihkan zakat, infak, sedekah, dan/atau dana sosial keagamaan lainnya yang ada dalam pengelolaannya.

Pasal 38
Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 39
Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 40
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 41
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar   ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 42
Tindak pidana sebagaimana dimaksud (1) dalam Pasal 39 dan Pasal 40 merupakan kejahatan. (2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 merupakan pelanggaran.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43
(1)Badan Amil Zakat Nasional yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS berdasarkan Undang-Undang ini sampai terbentuknya BAZNAS yang baru sesuai dengan Undang-Undang ini.
(2)Badan Amil Zakat Daerah provinsi dan Badan Amil Zakat Daerah kabupaten/kota yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang ini sampai terbentuknya kepengurusan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
(3)LAZ yang telah dikukuhkan oleh Menteri sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan sebagai LAZ berdasarkan Undang-Undang ini.
(4)LAZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyesuaikan diri paling lambat 5 tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 1999 nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 45
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 46
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 47
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN

Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGERA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan


PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011



TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

I. Umum
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat yang mampu sesuai dengan syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Selama ini pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Pengelolaan zakat yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan.
Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota Negara, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota. BAZNAS merupakan lembaga yang pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit syariah dan keuangan.
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam. Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka peanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuia dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri. Untuk melakukan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil, serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1: Cukup jelas
Pasal 2:  Huruf a; Cukup jelas
Huruf b;  Yang dimaksud dengan asas ”amanah” adalah pengelola zakat harus dapat dipercaya.
Huruf c; Yang dimaksud dengan asas ”kemamfaatan” adalah
pengelolaan zakat dilakukan untuk memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi mustahik.
Huruf d; Yang dimaksud dengan asas ”keadilan” adalah pengelolaan zakat dalam pendistribusiannya dilakukan secara adil.
Huruf e; Yang dimaksud dengan asas ”kepastian hukum” adalah dalam pengelolaan zakat terdapat jaminan kepastian
hukum bagi mustahik dan muzaki.
Huruf f; Yang dimaksud dengan asas ”terintegrasi” adalah pengelolaan zakat dilaksanakan secara hierarkis dalam upaya meningkatkan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
Huruf g; Yang dimaksud dengan asas ”akuntabilitas” adalah
pengelolaan zakat dapat dipertanggungjawabkan dan
diakses oleh masyarakat.
Pasal 3; Cukup jelas
Pasal 4;  Ayat (1), Cukup jelas
Ayat (2), Huruf a; Cukup jelas
Huruf b; Cukup jelas
Huruf c; Cukup jelas
Huruf d; Cukup jelas
Huruf e; Cukup jelas
Huruf f ; Cukup jelas
Huruf g; Cukup jelas
Huruf h; Cukup jelas
Huruf i; Yang dimaksud dengan ”rikaz” adalah harta temuan.
Ayat (3); Yang dimaksud dengan ”badan usaha” adalah badan usaha yang dimiliki umat Islam yang meliputi badan usaha yang tidak berbadan hukum seperti firma dan yang berbadan hukum seperti perseroan terbatas.
Ayat (4); Cukup jelas
Ayat (5); Cukup jelas
Pasal 5; Cukup jelas
Pasal 6; Cukup jelas
Pasal 7;       Ayat (1); Cukup jelas
Ayat (2); Yang dimaksud dengan “pihak terkait” antara lain kementerian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau lembaga luar negeri.
Ayat (3); Cukup jelas
Pasal 8; Cukup jelas
Pasal 9; Cukup jelas
Pasal 10; Cukup jelas
Pasal 11; Cukup jelas
Pasal 12; Cukup jelas
Pasal 13; Cukup jelas
Pasal 14; Cukup jelas
Pasal 15;   Ayat (1); Di Provinsi Aceh, penyebutan BAZNAS provinsi atau
BAZNAS kabupaten/kota dapat menggunakan istilah baitu mal.
Ayat (2); Cukup jelas
Ayat (3); Cukup jelas
Ayat (4); Cukup jelas
Ayat (5); Cukup jelas
Pasal 16; Ayat (1); Yang dimaksud ”tempat lainnya” antara lain masjid dan majelis taklim.
Ayat (2); Cukup jelas
Pasal 17; Cukup jelas
Pasal 18; Cukup jelas
Pasal 19; Cukup jelas
Pasal 20; Cukup jelas
Pasal 21; Cukup jelas
Pasal 22; Cukup jelas
Pasal 23; Cukup jelas
Pasal 24; Cukup jelas
Pasal 25; Cukup jelas
Pasal 26; Cukup jelas 
Pasal 27;  Ayat (1); Yang dimaksud dengan ”usaha produktif adalah usaha
yang mampu meningkatkan pendapatan, taraf hidup dan kesejahteraan.
Yang dimaksud dengan ”peningkatan kualitas umat”
adalah peningkatan sumber daya manusia.
Ayat (2);  Kebutuhan dasar mustahik meliputi kebutuhan pangan,
sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan.
Ayat (3); Cukup jelas
Pasal 28; Cukup jelas
Pasal 29; Cukup jelas
Pasal 30; Cukup jelas
Pasal 31; Cukup jelas
Pasal 32; Cukup jelas
Pasal 33; Cukup jelas
Pasal 34; Cukup jelas
Pasal 35; Cukup jelas
Pasal 36; Cukup jelas
Pasal 37; Cukup jelas
Pasal 38; Cukup jelas
Pasal 39; Cukup jelas
Pasal 40; Cukup jelas
Pasal 41; Cukup jelas
Pasal 42; Cukup jelas
Pasal 43; Cukup jelas
Pasal 44; Cukup jelas
Pasal 45; Cukup jelas
Pasal 46; Cukup jelas
Pasal 47; Cukup jelas

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5255



Pendapat

Makalah ini berisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang tersebut menjelaskan bagaimana mengelola zakat dengan baik dan benar, sesuai dengan ketentuan agama Islam.
Menurut pendapat saya setelah membaca Undang-Undang di atas adalah, bahwa setiap warga negara Indonesia wajib menunaikan zakat. Seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah : 267. Saya senang karena pemerintah Indonesia juga ikut andil dalam menangani masalah ini.
Melalui Undang-Undang ini, masyarakat semakin paham atas kewajiban sebagai seorang muslim untuk menunaikan zakatnya. Baik zakat fitrah maupun zakat maal. Masyarakat bisa mempercayakan lembaga pemerintah maupun swasta yang bertugas untuk menyalurkan zakat mereka kepada yang berhak menerimanya, atau yang biasa disebut dengan mustahik.
Didalam Undang-undang ini, tidak disebutkan apakah masyarakat yang menganut agama lain diwajibkan untuk berzakat. Undang-undang ini hanya mengatakan bahwa semua warga negara Indonesia diwajibkan untuk berzakat.
Tapi yang membuat saya terkesan adalah pemerintah juga telah menyiapkan segala kemungkinan yang ada. Seperti menyiapkan hukuman sebagai konsekuensi bagi orang-orang yang melanggarnya. Namun, sampai sekarang belum ada kasus menyangkut pelanggaran pembayaran zakat. Sepertinya semua lapisan masyarakat mengikuti aturan pemerintah atau mereka tidak mau membayar zakat yang sebenarnya adalah sebuah pelanggaran dengan denda yang tidak sedikit.
Sekian pendapat dari saya, apabila menyinggung lapisan masyarakat tertentu, saya mohon maaf. Karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.

Penulis,



Siti Amalia Fathan