Tugas Fiqih
Disusun oleh: Siti Amalia Fathan
Kelas : XII-Agama
Judul tugas : Undang-Undang Tentang Pengelolaan Zakat
MAN 22
Jl. H. Junaidi No.104 Palmerah
Jakarta Barat
Kata Pengantar
Dengan standar kompetensi dan kompetensi
dasar yang tercantum dalam standar isi dan berperan sebagai acuan pendidikan,
saya selaku murid MAN 22 membuat makalah tentang undang-undang yang mengatur pengelolaan
zakat.
Setelah dilakukan perubahan sedemikian
mungkin, saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu. Sehingga dapat
digunakan untuk pembelajaran dalam rangka mengembangkan pembelajaran fiqih khususnya
tentang pengelolaan zakat.
Setiap lembar dalam makalah ini, berisi
tentang undang-undang untuk mengelola zakat dengan baik dan benar. Kemudian
pada bagian akhir disajikan pendapat saya tentang undang-undang tersebut.
Menyadari masih terdapat kekurangan dalam
makalah ini, maka saran dan usul yang membangun akan disambut dengan senang
hati, terutama dari Pak Solihin, selaku guru yang menilai tugas yang saya buat.
Hanya kepada Allah SWT. saya memohon
semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membaca.
Wallahu Waliyyut-Taufiq
Jakarta, 7 Oktober 2012
Siti Amalia Fathan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011
TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa presiden Republik
Indonesia menimbang:
a.
bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
bahwa menunaikan zakat merupakan
b.
kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam;
c.
bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat;
d.
bahwa dalam rangka meningkatkan dayaguna dan hasil guna, zakat harus dikelola
secara melembaga sesuai dengan syariat Islam;
e.
bahwa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sudah tidak
sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, sehingga perlu
diganti;
f.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengelolaan
Zakat.
Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama dewan perwakilan
rakyat republik Indonesia dan presiden republik Indonesia memutuskan menetapkan
undang-undang tentang pengelolaan zakat.
BAB
I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.Pengelolaan
zakat adalah kegiatan Perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
2.
Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha
untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
3.
Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar
zakat untuk kemaslahatan umum.
4.Sedekah
adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di
luar zakat untuk kemaslahatan umum.
5.Muzaki
adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat.
6.Mustahik
adalah orang yang berhak menerima zakat.
7.Badan
Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yang
melakukan pengelolaan zakat secara nasional.
8.Lembaga
Amil Zakat yang selanjutnya disebut LAZ adalah Lembaga yang dibentuk masyarakat
yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan
zakat.
9.Unit
Pengumpul Zakat yang selanjutnya disebut UPZ adalah satuan organisasi yang
dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu mengumpulkan zakat.
10.Setiap
orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
11.Hak
Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat dimanfaatkan untuk biaya
operasional dalam pengelolaan zakat sesuai dengan syariat Islam.
12.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agama.
Pasal 2
Pengelolaan
zakat berasaskan:
a. syariat Islam; e. Kepastian hukum;
b.amanah; f. Terintegrasi;
c.kemanfaatan; g. Akuntabilitas;
d.keadilan;
Pasal 3
Pengelolaan
zakat bertujuan:
a.
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat
b.
meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan.
Pasal 4
(1)Zakat
meliputi zakat mal dan zakat fitrah.
(2)
Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: a.emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b.uang dan surat berharga lainnya
c.perniagaan;
d.perkebunan
dan kehutanan;
e.peternakan
dan perikanan;
f.pertambangan;
g.perindustrian;
h.pendapatan
dan jasa;
i.rikaz.
(3)
Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang dimiliki oleh
muzaki perseorangan atau badan usaha.
(4)
Syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah dilaksanakan
sesuai dengan syariat Islam.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan
zakat fitrah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) akan diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB II BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1)
Untuk melaksanakan pengelolaan zakat,Pemerintah membentuk BAZNAS
(2)
BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara.
(3)
BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah
nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden
melalui Menteri.
Pasal 6
BAZNAS merupakan
lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Pasal 7
(1)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS
menyelenggarakan fungsi:
a.perencanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
b.pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
c.pengendalian
pengumpulan,pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
d.pelaporan
dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
(2)Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerjasama dengan pihak terkait sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
(3)
BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden
melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Bagian Kedua
Keanggotaan
Pasal 8
(1) BAZNAS terdiri
atas 11 (sebelas) orang anggota.
(2)
Keanggotaan BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 8 orang dari
unsur masyarakat dan 3 orang dari unsur pemerintah.
(3)
Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur ulama,
tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam.
(4)
Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditunjuk dari
kementerian/instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat.
(5) BAZNAS dipimpin
oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
Pasal 9
Masa kerja anggota BAZNAS dijabat selama 5
tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan.
Pasal 10
(1)Anggota
BAZNAS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri.
(2)Anggota
BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat oleh Presiden atas usul Menteri setelah
mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3)Ketua
dan Wakil Ketua BAZNAS dipilih oleh anggota.
Pasal 11
Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai
anggota BAZNAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 paling sedikit harus:
a.warga negara Indonesia;
b.beragama Islam;
c.bertakwa kepada
Allah SWT;
d.berakhlak mulia;
e.berusia minimal 40
(empat puluh) tahun;
f.sehat jasmani dan
rohani;
g.tidak menjadi anggota partai politik;
h.memiliki kompetensi
di bidang pengelolaan zakat
i.tidak pernah
dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 12
Anggota BAZNAS
diberhentikan apabila:
a.meninggal dunia;
b.habis masa jabatan;
c.mengundurkan diri;
d.tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 bulan
secara terus menerus
e.tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota.
Pasal
13
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengangkatan dan pemberhentian anggota BAZNAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibantu
oleh sekretariat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja sekretariat BAZNAS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
BAZNAS Provinsi Dan BAZNAS Kabupaten/Kota
Pasal
15
(1)
Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan zakat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota
dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota.
(2)
BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul gubernur setelah mendapat
pertimbangan BAZNAS.
(3)
BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas
usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.
(4)
Dalam hal gubernur atau bupati/walikota tidak mengusulkan pembentukan BAZNAS
provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota, Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat
membentuk BAZNAS provinsi atau kabupaten/kota setelah mendapat pertimbangan
BAZNAS.
(5)
BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota melaksanakan tugas dan fungsi BAZNAS
di provinsi atau kabupaten/kota masing-masing.
Pasal
16
(1)
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota
dapat membentuk UPZ pada instansi pemerintah, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan atau
nama lainnya, dan tempat lainnya.
(2) Ketentuan lebih
lanjut mengenai organisasi dan tata kerja BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/Kota
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Lembaga Amil Zakat
Pasal
17
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat
membentuk LAZ.
Pasal
18
(1)Pembentukan LAZ
wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
(2)Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan
paling sedikit:
a.terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam
yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
b.berbentuk
lembaga berbadan hukum;
c.mendapat
rekomendasi dari BAZNAS;
d.memiliki
pengawas syariat;
e.memiliki
kemampuan teknis, administratif dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
f.bersifat
nirlaba;
g.memiliki program untuk mendayagunakan zakat
bagi kesejahteraan umat;
h.bersedia diaudit syariah dan diaudit keuangan
secara berkala.
Pasal
19
LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS
secara berkala.
Pasal
20
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan
organisasi, mekanisme perizinan, pembentukan perwakilan, pelaporan, dan
pertanggungjawaban LAZ diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
III
PENGUMPULAN,
PENDISTRIBUSIAN, PENDAYAGUNAAN, DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pengumpulan
Pasal
21
(1)Dalam rangka
pengumpulan zakat, muzaki melakukan penghitungan sendiri atas kewajiban zakatnya.
(2)Dalam hal tidak
dapat menghitung sendiri kewajiban zakatnya, muzaki dapat meminta bantuan
BAZNAS.
Pasal
22
Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS
atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.
Pasal
23
(1)
BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki.
(2) Bukti setoran
zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pengurang
penghasilan kena pajak.
Pasal
24
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh
BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pendistribusian
Pasal
25
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik
sesuai syariat Islam.
Pasal
26
Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan
prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
Bagian ketiga
Pendayagunaan
Pasal
27
(1)Zakat
dapat didayagunakan untuk usaha
produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
(2)Pendayagunaan
zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila
kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
(3)Ketentuan lebih
lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Pengelolaan Infak, Sedekah, Dan Dana Sosial
keagamaan Lainnya
Pasal
28
(1)Selain
menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana
social keagamaan lainnya.
(2)Pendistribyusian
dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan
sesuai dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi.
(3)Pengelolaan
infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya harus dicatat dalam pembukuan
tersendiri.
Bagian Kelima
Pelaporan
Pasal
29
(1)BAZNAS
kabupaten/kota wajib menyampaikan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak,
sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS provinsi dan pemerintah
daerah secara berkala.
(2)BAZNAS
provinsi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak,
sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah
secara berkala.
(3)LAZ
wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan
dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara
berkala.
(4)BAZNAS
wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan dana
sosial keagamaan lainnya kepada Menteri secara berkala.
(5)Laporan
neraca tahunan BAZNAS diumumkan melalui media cetak atau media elektronik.
(6)Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaporan BAZNAS kabupaten/kota, BAZNAS provinsi, LAZ, dan
BAZNAS diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
IV
PEMBIAYAAN
Pasal
30
Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil.
Pasal
31
(1)Dalam
melaksanakan tugasnya, BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1), dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dan Hak Amil.
(2)Selain
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota
dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Pasal
32
LAZ dapat menggunakan hak amil untuk membiayai kegiatan
operasional.
Pasal
33
(1)Pembiayaan
BAZNAS dan penggunaan Hak Amil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 ayat
(1), dan Pasal 32 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(2)Pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dan Pasal 31 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB
V
PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
Pasal
34
(1)Menteri
melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota,
dan LAZ.
(2)Gubernur
dan Bupati/Walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS provinsi,
BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ sesuai dengan kewenangannya.
(3)Pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi fasilitasi,
sosialisasi, dan edukasi.
BAB
VI
PERAN
SERTA MASYARAKAT
Pasal
35
(1)Masyarakat
dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ.
(2)Pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka:
a.meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan
zakat melalui BAZNAS dan LAZ;
b.memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS
dan LAZ.
(3)Pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk :
a.akses
terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan
LAZ;
b.penyampaian
informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan
oleh BAZNAS dan LAZ.
BAB
VII
SANKSI
ADMINISTRATIF
Pasal
36
(1)
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 23
ayat (1), Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 29 ayat (3) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara dari kegiatan;
dan/atau
c. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB
VIII
LARANGAN
Pasal
37
Setiap orang dilarang melakukan tindakan
memiliki, menjaminkan, menghibahkan, menjual, dan/atau mengalihkan zakat,
infak, sedekah, dan/atau dana sosial keagamaan lainnya yang ada dalam pengelolaannya.
Pasal
38
Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak
selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan
zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
BAB
IX
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
39
Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum
tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal
40
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan
hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal
41
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan
hukum melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda
paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal
42
Tindak pidana sebagaimana dimaksud (1) dalam
Pasal 39 dan Pasal 40 merupakan kejahatan. (2)Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 merupakan pelanggaran.
BAB
X
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
43
(1)Badan
Amil Zakat Nasional yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap
menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS berdasarkan Undang-Undang ini
sampai terbentuknya BAZNAS yang baru sesuai dengan Undang-Undang ini.
(2)Badan
Amil Zakat Daerah provinsi dan Badan Amil Zakat Daerah kabupaten/kota yang
telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap menjalankan tugas dan fungsi
sebagai BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang ini
sampai terbentuknya kepengurusan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
(3)LAZ
yang telah dikukuhkan oleh Menteri sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan
sebagai LAZ berdasarkan Undang-Undang ini.
(4)LAZ
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyesuaikan diri paling lambat 5 tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB
XI
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
semua Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran
Negera Republik Indonesia Tahun 1999 nomor 164; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3885) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal
45
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang- Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3885) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
46
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini
harus ditetapkan paling lama 1 tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal
47
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 November
2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 November
2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGERA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang
Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011
TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
I. Umum
Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Penunaian zakat
merupakan kewajiban bagi umat yang mampu sesuai dengan syariat Islam. Zakat
merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan,
kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.
Dalam
rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara
melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian
hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas
dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Selama
ini pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan
hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Pengelolaan zakat yang diatur dalam
Undang-Undang ini meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan.
Dalam
upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota Negara, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota.
BAZNAS merupakan lembaga yang pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri
dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. BAZNAS merupakan lembaga
yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Untuk
membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri. LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit
syariah dan keuangan.
Zakat
wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam.
Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan
prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapat didayagunakan untuk
usaha produktif dalam rangka peanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat
apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Selain
menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana
sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan
sesuia dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus dilakukan
pencatatan dalam pembukuan tersendiri. Untuk melakukan tugasnya, BAZNAS dibiayai
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS
provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah dan Hak Amil, serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1: Cukup jelas
Pasal 2:
Huruf a; Cukup jelas
Huruf b; Yang dimaksud dengan asas ”amanah” adalah
pengelola zakat harus dapat dipercaya.
Huruf
c; Yang dimaksud dengan asas ”kemamfaatan” adalah
pengelolaan
zakat dilakukan untuk memberikan
manfaat
yang sebesar-besarnya bagi mustahik.
Huruf d; Yang
dimaksud dengan asas ”keadilan” adalah pengelolaan zakat dalam
pendistribusiannya dilakukan secara adil.
Huruf e; Yang
dimaksud dengan asas ”kepastian hukum” adalah dalam pengelolaan zakat terdapat
jaminan kepastian
hukum
bagi mustahik dan muzaki.
Huruf f; Yang
dimaksud dengan asas ”terintegrasi” adalah pengelolaan zakat dilaksanakan
secara hierarkis dalam upaya meningkatkan pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan zakat.
Huruf
g; Yang dimaksud dengan asas ”akuntabilitas” adalah
pengelolaan
zakat dapat dipertanggungjawabkan dan
diakses
oleh masyarakat.
Pasal 3; Cukup jelas
Pasal
4; Ayat (1), Cukup jelas
Ayat (2), Huruf a; Cukup
jelas
Huruf
b; Cukup jelas
Huruf
c; Cukup jelas
Huruf
d; Cukup jelas
Huruf
e; Cukup jelas
Huruf
f ; Cukup jelas
Huruf
g; Cukup jelas
Huruf
h; Cukup jelas
Huruf i; Yang
dimaksud dengan ”rikaz” adalah harta temuan.
Ayat
(3); Yang dimaksud dengan ”badan usaha” adalah badan usaha yang dimiliki umat
Islam yang meliputi badan usaha yang tidak berbadan hukum seperti firma dan yang
berbadan hukum seperti perseroan terbatas.
Ayat
(4); Cukup jelas
Ayat
(5); Cukup jelas
Pasal 5; Cukup jelas
Pasal 6; Cukup jelas
Pasal
7; Ayat (1); Cukup jelas
Ayat
(2); Yang dimaksud dengan “pihak terkait” antara lain kementerian, Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), atau lembaga luar negeri.
Ayat
(3); Cukup jelas
Pasal 8; Cukup jelas
Pasal 9; Cukup jelas
Pasal 10; Cukup jelas
Pasal 11; Cukup jelas
Pasal 12; Cukup jelas
Pasal 13; Cukup jelas
Pasal 14; Cukup jelas
Pasal 15;
Ayat (1); Di Provinsi Aceh, penyebutan BAZNAS provinsi atau
BAZNAS kabupaten/kota
dapat menggunakan istilah baitu mal.
Ayat
(2); Cukup jelas
Ayat
(3); Cukup jelas
Ayat
(4); Cukup jelas
Ayat
(5); Cukup jelas
Pasal
16; Ayat (1); Yang dimaksud ”tempat lainnya” antara lain masjid dan majelis
taklim.
Ayat
(2); Cukup jelas
Pasal 17; Cukup jelas
Pasal 18; Cukup jelas
Pasal 19; Cukup jelas
Pasal 20; Cukup jelas
Pasal 21; Cukup jelas
Pasal 22; Cukup jelas
Pasal 23; Cukup jelas
Pasal 24; Cukup jelas
Pasal 25; Cukup jelas
Pasal 26; Cukup jelas
Pasal 27;
Ayat (1); Yang dimaksud dengan ”usaha produktif adalah usaha
yang mampu meningkatkan
pendapatan, taraf hidup dan kesejahteraan.
Yang
dimaksud dengan ”peningkatan kualitas umat”
adalah
peningkatan sumber daya manusia.
Ayat
(2); Kebutuhan dasar mustahik meliputi
kebutuhan pangan,
sandang,
perumahan, pendidikan dan kesehatan.
Ayat
(3); Cukup jelas
Pasal 28; Cukup jelas
Pasal 29; Cukup jelas
Pasal 30; Cukup jelas
Pasal 31; Cukup jelas
Pasal 32; Cukup jelas
Pasal 33; Cukup jelas
Pasal 34; Cukup jelas
Pasal 35; Cukup jelas
Pasal 36; Cukup jelas
Pasal 37; Cukup jelas
Pasal 38; Cukup jelas
Pasal 39; Cukup jelas
Pasal 40; Cukup jelas
Pasal 41; Cukup jelas
Pasal 42; Cukup jelas
Pasal 43; Cukup jelas
Pasal 44; Cukup jelas
Pasal 45; Cukup jelas
Pasal 46; Cukup jelas
Pasal 47; Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5255
Pendapat
Makalah
ini berisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat. Undang-undang tersebut menjelaskan bagaimana mengelola zakat
dengan baik dan benar, sesuai dengan ketentuan agama Islam.
Menurut
pendapat saya setelah membaca Undang-Undang di atas adalah, bahwa setiap warga
negara Indonesia wajib menunaikan zakat. Seperti yang diperintahkan oleh Allah
SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah : 267. Saya senang karena pemerintah
Indonesia juga ikut andil dalam menangani masalah ini.
Melalui
Undang-Undang ini, masyarakat semakin paham atas kewajiban sebagai seorang
muslim untuk menunaikan zakatnya. Baik zakat fitrah maupun zakat maal.
Masyarakat bisa mempercayakan lembaga pemerintah maupun swasta yang bertugas
untuk menyalurkan zakat mereka kepada yang berhak menerimanya, atau yang biasa
disebut dengan mustahik.
Didalam
Undang-undang ini, tidak disebutkan apakah masyarakat yang menganut agama lain
diwajibkan untuk berzakat. Undang-undang ini hanya mengatakan bahwa semua warga
negara Indonesia diwajibkan untuk berzakat.
Tapi
yang membuat saya terkesan adalah pemerintah juga telah menyiapkan segala
kemungkinan yang ada. Seperti menyiapkan hukuman sebagai konsekuensi bagi
orang-orang yang melanggarnya. Namun, sampai sekarang belum ada kasus
menyangkut pelanggaran pembayaran zakat. Sepertinya semua lapisan masyarakat
mengikuti aturan pemerintah atau mereka tidak mau membayar zakat yang
sebenarnya adalah sebuah pelanggaran dengan denda yang tidak sedikit.
Sekian
pendapat dari saya, apabila menyinggung lapisan masyarakat tertentu, saya mohon
maaf. Karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.
Penulis,
Siti Amalia Fathan