Cari di Blog Ini

Senin, 24 Oktober 2016

Contoh Makalah tentang Pandangan Al-quran dan Hadits terhadap ilmu pengetahuan



Pandangan Al-Quran dan Hadits terhadap Ilmu Pengetahuan
Diajukan untuk memenuhi tugas Islam dan Ilmu Pengetahuan yang diampu oleh
Prof. Dr. Armai Arief, M.Ag

 
 




Kelompok   3
Muhammad Fajar Kurniawan (111501100000)
Kamalia Istifadati (11150110000074)
Siti Amalia Fathan (11150110000097)




Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1437 H / 2016 M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tecurah kepada manusia terbaik, penutup para nabi dan rasul, Muhammad SAW., juga kepada keluarga dan para sahabatnya.
Sebagaimana yang diketahui, makalah kami kali ini berjudul Pandangan Al-Quran dan Hadits terhadap ilmu pengetahuan. Topik ini menarik sekali untuk dibahas bersama guna mengupas lebih dalam lagi isi kandungan Al-Quran dan Hadits, sehingga bisa memperkuat ketaqwaan dan keimanan kita kepada-Nya.
Dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menulis dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan, khususnya bagi mahasiswa dan pembaca pada umumnya.






Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar           ..........................................................................................................  1
Daftar Isi         ......................................................................................................................  2
BAB I





BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Al-Quran bukanlah buku ilmiah sebagaimana yang dipahami orang saat ini. Al-Quran adalah kitab yang diturunkan Allah SWT. untuk memberi petunjuk kepada manusia, menetapkan aturan hidup agar mereka meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Al-Quran yang diturunkan 14 abad silam, mengandung berbagai fakta ilmiah yang perlahan-lahan terungkap.
Meskipun ilmu pengetahuan kini telah berkembang pesat, tak satu pun teori yang bertentangan dengan isi Al-Quran. Adapun teori-teori yang belum terpecahkan, dengan seiring perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan akan mengungkap kebenaran yang sesungguhnya.
Sebagai sumber kedua Islam, hadits atau sunah telah menjadi faktor pendukung utama kemajuan ilmu pengetahuan umat Islam. Banyak hadits yang berbicara seputar ilmu pengetahuan, terutama mengenai keutamaan ilmu.

B.       Rumusan Masalah
1.      Berapakah jumlah ayat Al-Quran yang bertema ilmu pengetahuan
2.      Kandungan Al-Quran
a.       Kebenaran Ilmiah
b.      Sistem Penalaran Ilmiah
c.       Hikmh Ayat-ayat Ilmiah





BAB II
ISI
Dalam kehidupan dunia, ilmu pengetahuan mempunyai peran yang sangat penting. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan memberikan kemudahan bagi kehidupan, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut al-Ghazali, dengan ilmu pengetahuan akan diperoleh segala bentuk kekayaan, kemuliaan, kewibawaan, pengaruh, jabatan, dan kekuasaan. Apa yang dapat diperoleh seseorang sebagai buah dari ilmu pengetahuan, bukan hanya diperoleh dari hubungannya dengan sesama manusia, para binatang pun merasakan bagaimana kemuliaan manusia karena ilmu yang ia miliki.[1] Dari sini, dengan jelas dapat disimpulkan bahwa kemajuan peradaban sebuah bangsa tergantung pada kemajuan ilmu pengetahuan.
Kata ilmu terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Dalam pandangan Al-Quran maupun hadits, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia lebih unggul terhadap mahluk-mahluk lain untuk menjalankan fungsi kekhalifahan.[2]
Dalam Al-Quran, banyak sekali ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah. Seperti contohnya perintah berpuasa. Nabi Muhammad SAW. bersabda,
صُومُوْا تَصِحُّوا
"Berpuasalah niscaya kalian akan sehat bugar" (HR. Ath-Thabrani)




Aspek-aspek Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran
a.         Kebenaran Ilmiah
Ada beberapa perbedaan pendapat hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Dalam kitab Jawahir Al-Quran, Imam Ghazali menerangkan bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran. Sedangkan Imam Syathibi tidak sependapat dengan beliau. Imam Syathibi berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak sepenuhnya bersumber dari Al-Quran.
Membahas hubungan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan bukan dinilai banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan, bukan pula dengan menunjukkan teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan diletakkan sesuai dengan kemurnian dan kesucian Al-Quran dan juga sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Membahas hubungan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relatifitas atau bahasan tentang angkasa luar yang tercantum dalam Al-Quran. Tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah ayat-ayatnya yang menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan, atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah. Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi psikologi sosial, bukan sisi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. [3]
Al-Quran sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai petunjuk bagi manusia. Al-Quran memberi stimulasi mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak, yakni sekitar 750 ayat. Informasi   Al-Quran mengenai fenomena alam, dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Sang Pencipta dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar berjuang mendekatkan diri pada-Nya.[4] Dengan demikian, Al-Quran telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.
Salah satu ayat Al-Quran yang menerangkan fenomena alam yaitu surah Al-Qamar ayat 1, yang berbunyi,
اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةِ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ (۱)
"Saat (hari Kiamat) semakin dekat, bulan pun terbelah"
Ayat inilah yang membuat seorang lelaki berkebangsaan Inggris bernama David Musa Pidcock masuk Islam. Sewaktu ia membaca ayat diatas, ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin bulan bisa terbelah kemudian bersatu kembali? Lalu dia menonton siaran langsung sebuah dialog di televisi. Dialog itu dipandu James Burke, dan dihadiri oleh tiga pakar astronomi dari Amerika. Sang presenter mencela kegiatan perjalanan antariksa, yang menurutnya termasuk pemborosan. Diantaranya pada tahun 1969, yang mencapai angka US$100 miliar, hanya untuk menurunkan sseorang Neil Armstrong di bulan. Padahal, masih banyak manusia yang hidup dalam kemiskinan, menderita kelaparan, dan mengidap berbagai penyakit.[5]
Para pakar astronomi itu menjawab, tujuan dari perjalanan-perjalanan antariksa adalah studi ilmiah terhadap benda-benda langit. Dan, studi ini telah berhasil mendapatkan fakta ilmiah yang sangat hebat dan mengagumkan. Fakta ilmiah tersebut adalah, bulan pada masa lalu terbelah menjadi dua kemudian bersatu kembali. Bukti mengenai hal ini adalah adanya celah melengkung dan panjang di bebatuan bulan. Celah itu berada di permukaan hingga ke dalam perut bulan. Beberapa peralatan untuk meneliti gempa pun digunakan untuk memastikan kondisi celah tersebut. Celah tersebut memiliki kedalaman hingga beberapa kilometer, sementara lebarnya antara 500 hingga 5.000 meter. Celah itu memanjang sejauh 250km berupa garis lurus dan melengkung, dan berawal dari kutub selatan bulan, disisi yang tidak terlihat oleh bumi. Setelah mendengar pernyataan itu, David merasa senang dan kagum. Ia segera membaca terjemahan ayat-ayat Al-Quran, dan karena ayat ini juga dia masuk Islam.
Sesungguhnya, fenomena alam ini merupakan mukjizat dari alam itu sendiri. Sebagian orang mengatakan bahwa sains modern telah membuktikan adanya pembelahan komet Brooks pada tahun 1889. Namun, komet itu tidak bersatu kembali seperti halnya bulan. Jika saja bulan tidak menyatu kembali, tentu hal itu hanya menjadi fenomena alam biasa, tidak termasuk mukjizat.[6]
b.        Sistem Penalaran
Salah satu faktor terpenting yang dapat menghalangi perkembagan ilmu pengetahuan terdapat dalam diri manusia sendiri. Para psikologi menerangkan bahwa tahap-tahap perkembangan kejiwaan dan alam pikiran manusia dalam menilai suatu ide umumnya melalui tiga fase. Fase pertama, menilai baik buruknya suatu ide dengan ukuran yang mempunyai hubungan dengan alam kebendaan atau berdasarkan pada pancaindera yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan primer. Fase kedua, menilai ide tersebut atas keteladanan yang diberikan oleh seseorang; dan atau tidak terlepas dari penjelmaan dalam diri pribadi seseorang. Fase ketiga (fase kedewasaan), adalah suatu penilaian tentang ide didasarkan atas nilai-nilai yang terdapat pada unsur-unsur ide itu sendiri, tanpa terpengaruh oleh faktor ekstren yang menguatkan atau melemahkannya (materi dan pribadi).
 Sejarah menunjukkan bahwa pada masa-masa pertama dalam pembinaan masyarakat Islam, pandangan atau penilaian segolong orang Islam terhadap nilai al-fikrah Al-Qur'aniyyah (ide yang dibawa oleh Al-Quran), bahwa ide-ide tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pribadi Rasulullah SAW. Dalam perang Uhud misalnya, sekelompok kaum Muslim cepat-cepat meninggalkan medan pertempuran ketika mendengar berita wafatnya Rasulullah SAW., yang diisukan oleh kaum musyrik. Sifat kekeliruan ini lahir akibat pandangan mereka terhadap nilai suatu ide baru sampai pada fase kedua, atau dengan kata lain belum mencapai tingkat kedewasaannya. [7]
Al-Qur'an tidak menginginkan masyarakat baru yang dibentuknya memandang menilai suatu ide apa pun coraknya hanya terbatas sampai fase kedua saja, karenanya turunlah ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌ ج قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُوْلُ قلى اَفَا ئِنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى اَعْقَابِكُمْ قلى وَ مَنْ يَّنْقَلِبْ عَلى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللهَ شَيْئًا قلى  وَ سَيَجْزِى اللهُ الشّكِرِيْنَ (۱٤٤)
Muhammad hanyalah kecuali seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh kamu berpaling ke agamamu yang dulu? Barangsiapa yang berpaling menjadi kafir; maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun, dan Allah akan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur kepada-Nya (QS Ali Imran: 144).
Ayat tersebut berbentuk istifham taubikhi istinkariy -yaitu pertanyaan yang mengandung kecaman, sekaligus larangan untuk melakukannya- yang berarti larangan menempatkan       al-fikrah Al-Qur'aniyyah hanya sampai fase kedua. Ayat ini merupakan dorongan kepada masyarakat untuk lebih meningkatkan pandangan dan penilaiannya atas suatu ide ke tingkat yang lebih tinggi sampai pada fase ketiga (fase kedewasaan). Ayat ini juga melepaskan belenggu-belenggu yang dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dalam alam pikiran manusia.[8]
Untuk lebih menekankan kepentingan ilmu pengetahuan, Allah berseru dalam surat Az-Zumar ayat 9,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ (٩)
Katakanlah, "apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui? (QS Az-Zumar: 9).
Ayat ini menekankan kepada masyarakat betapa besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat. Demikian juga ayat,
هَا أَنْتُمْ هَٰؤُلَاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Begitulah kamu! Kamu membantah tentang apa yang kamu ketahui, tetapi mengapa kamu juga membantah tentang apa yang tidak kamu ketahui? (QS Ali Imran: 66).
Ayat ini merupakan kritikan pedas terhadap mereka yang membantah suatu persoalan tanpa adanya data objektif, maupun ilmiah, yang berkenaan dengan persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian membentuk iklim baru dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Iklim baru inilah yang kemudian menghasilkan tokoh seperti, Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya. Ialah yang membantu Muhammad bin Ahmad menemukan angka 0 pada tahun 976, yang akhirnya mendorong Muhammad bin Musa Al-Khawarizmiy menemukan perhitungan Aljabar. Tanpa penemuan-penemuan tersebut, Ilmu Pasti akan tetap merangkak dan meraba-raba dalam alam gelap gulita.
Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting daripada menemukan teori ilmiah. Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberi petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong manusia untuk menggunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuan.[9]
c.         Hikmah Ayat ilmiah Al-Quran
Ada sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh Al-Quran, tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan mendorong manusia untuk mengadakan observasi dan penelitian untuk lebih menguatkan iman dan kepercayan kepada-Nya. Mengenai hal ini, Mahmud Syaltut mengatakan dalam tafsirnya:
Sesungguhnya Allah tidak menurunkan Al-Quran untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni serta aneka warna pengetahuan.

Di dalam asbabun nuzul, diceritakan bahwa suatu hari datang seseorang kepada Rasul dan bertanya: “Mengapakah bulan kelihatan kecil bagaikan benang, kemudian membesar sampai menjadi sempurna purnama?” Lalu, Rasulullah SAW. mengembalikan jawaban pertanyaan tersebut kepada Allah, lalu Allah berfirman:
يَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ قلى  قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ قلى (١٨٩)
Mereka bertanya kepadamu perihal bulan. Katakanlah bulan itu untuk menentukan waktu bagi manusia dan mengerjakan haji (QS Ali Imran: 189).
Jawaban Al-Quran ini bukan jawaban ilmiah, tetapi jawaban ini sesuai dengan tujuan pokoknya. Ada pula yang bertanya mengenai ruh, Al-Quran menjawabnya dalam surat al-Isra ayat  85:
وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ اْلرُّوْحِ قلى  قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِرَبِّيْ وَمَا اُوْتِيْتُمْ مِنَ اْلعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا (٨٥)
Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan: “Ruh adalah urusan Tuhanku, kamu sekalian hanya diberi sedikit ilmu pengetahuan.“ (QS al Isra`: 85).
Dalam ayat ini, Al-Quran tidak menerangkan hakikat ruh, karena tujuan pokok Al-Quran bukan menerangkan persoalan-persoalan ilmiah, tetapi tujuannya adalah memberi petunjuk pada manusia. Mahmud Syaltut setelah membawakan kedua ayat tersebut, lalu menulis: “Tidakkah terdapat dalam hal ini bukti nyata yang menerangkan bahwa Al-Quran bukan satu kitab yang dikehendaki Allah untuk menerangkan haqaiq al-kawn (kebenaran-kebenaran ilmiah dalam alam semesta), tetapi ia adalah kitab petunjuk, ishlah dan tasyri’.” [10]



BAB III
KESIMPULAN





DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, cet.III, 1996.
_______________,  Membumikan Al-Qur'an, Mizan, Bandung, cet.VII, 1994.
Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam Al-Quran,  Zaman, Jakarta, cet.III 2014




[1] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut Darul Ma’rifah, tt) vol. 1 hlm.12
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996)  hlm. 434-435
[3] M. Quraish Shihab, Membumikan al Quran (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 41
[4] Jurnal ebook
[5] Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam Al-Quran (Jakarta: Zaman, 2014), hlm. 442
[6] Ibid, hlm. 443
[7] M. Quraish Shihab, Membumikan al Quran (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 42
[8] Ibid, hlm. 43
[9] Ibid, hlm. 44
[10] M. Quraish Shihab, Membumikan al Quran (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 51-52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar