Pandangan Al-Quran dan Hadits terhadap Ilmu Pengetahuan
Diajukan
untuk memenuhi tugas Islam dan Ilmu Pengetahuan yang diampu oleh
Prof.
Dr. Armai Arief, M.Ag
Kelompok 3
Muhammad
Fajar Kurniawan (111501100000)
Kamalia
Istifadati (11150110000074)
Siti
Amalia Fathan (11150110000097)
Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
1437 H / 2016 M
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tecurah kepada manusia
terbaik, penutup para nabi dan rasul, Muhammad SAW., juga kepada keluarga dan
para sahabatnya.
Sebagaimana
yang diketahui, makalah kami kali ini berjudul Pandangan Al-Quran dan Hadits
terhadap ilmu pengetahuan. Topik ini menarik sekali untuk dibahas bersama guna
mengupas lebih dalam lagi isi kandungan Al-Quran dan Hadits, sehingga bisa
memperkuat ketaqwaan dan keimanan kita kepada-Nya.
Dengan
kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu menulis dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam
makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat dan menambah wawasan, khususnya bagi mahasiswa dan pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar .......................................................................................................... 1
Daftar Isi ...................................................................................................................... 2
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Quran
bukanlah buku ilmiah sebagaimana yang dipahami orang saat ini. Al-Quran adalah
kitab yang diturunkan Allah SWT. untuk memberi petunjuk kepada manusia,
menetapkan aturan hidup agar mereka meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Al-Quran yang diturunkan 14 abad silam, mengandung berbagai fakta ilmiah yang
perlahan-lahan terungkap.
Meskipun
ilmu pengetahuan kini telah berkembang pesat, tak satu pun teori yang
bertentangan dengan isi Al-Quran. Adapun teori-teori yang belum terpecahkan,
dengan seiring perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan akan mengungkap
kebenaran yang sesungguhnya.
Sebagai sumber kedua Islam, hadits atau sunah telah
menjadi faktor pendukung utama kemajuan ilmu pengetahuan
umat Islam. Banyak hadits yang berbicara seputar ilmu pengetahuan, terutama
mengenai keutamaan ilmu.
B.
Rumusan Masalah
1. Berapakah jumlah ayat Al-Quran yang bertema ilmu pengetahuan
2. Kandungan Al-Quran
a. Kebenaran Ilmiah
b. Sistem Penalaran Ilmiah
c. Hikmh Ayat-ayat Ilmiah
BAB II
ISI
Dalam kehidupan dunia, ilmu pengetahuan mempunyai
peran yang sangat penting. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan
memberikan kemudahan bagi kehidupan, baik
dalam kehidupan individu maupun dalam
kehidupan bermasyarakat. Menurut al-Ghazali, dengan ilmu pengetahuan akan
diperoleh segala bentuk kekayaan, kemuliaan, kewibawaan, pengaruh, jabatan, dan
kekuasaan. Apa yang dapat diperoleh seseorang sebagai buah dari ilmu
pengetahuan, bukan hanya diperoleh dari hubungannya dengan sesama manusia, para
binatang pun merasakan bagaimana kemuliaan manusia karena ilmu yang ia miliki.[1] Dari
sini, dengan jelas dapat disimpulkan bahwa kemajuan peradaban sebuah bangsa
tergantung pada kemajuan ilmu pengetahuan.
Kata
ilmu terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses
pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas
tentang sesuatu. Dalam pandangan Al-Quran maupun hadits, ilmu adalah
keistimewaan yang menjadikan manusia lebih unggul terhadap mahluk-mahluk lain
untuk menjalankan fungsi kekhalifahan.[2]
Dalam Al-Quran, banyak sekali ilmu pengetahuan yang
bersifat ilmiah. Seperti contohnya perintah berpuasa. Nabi Muhammad SAW.
bersabda,
صُومُوْا تَصِحُّوا
"Berpuasalah
niscaya kalian akan sehat bugar" (HR. Ath-Thabrani)
Aspek-aspek Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran
a.
Kebenaran Ilmiah
Ada
beberapa perbedaan pendapat hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Dalam
kitab Jawahir Al-Quran, Imam Ghazali menerangkan bahwa seluruh cabang
ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun
yang belum, semua bersumber dari Al-Quran. Sedangkan Imam Syathibi tidak
sependapat dengan beliau. Imam Syathibi berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak
sepenuhnya bersumber dari Al-Quran.
Membahas
hubungan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan bukan dinilai banyaknya
cabang-cabang ilmu pengetahuan, bukan pula dengan menunjukkan teori-teori
ilmiah. Tetapi pembahasan diletakkan sesuai dengan kemurnian dan kesucian
Al-Quran dan juga sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Membahas
hubungan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat,
misalnya, adakah teori relatifitas atau bahasan tentang angkasa luar yang
tercantum dalam Al-Quran. Tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah
ayat-ayatnya yang menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan, atau sebaliknya, serta
adakah satu ayat Al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah.
Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi psikologi sosial, bukan sisi sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan. [3]
Al-Quran sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk
tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai
petunjuk bagi manusia. Al-Quran memberi stimulasi mengenai fenomena alam dalam
porsi yang cukup banyak, yakni sekitar 750 ayat. Informasi Al-Quran mengenai fenomena alam,
dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Sang Pencipta dengan
mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar
berjuang mendekatkan diri pada-Nya.[4] Dengan
demikian, Al-Quran telah
membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta
menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.
Salah satu ayat Al-Quran yang menerangkan fenomena
alam yaitu surah Al-Qamar ayat 1, yang berbunyi,
اِقْتَرَبَتِ
السَّاعَةِ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ (۱)
"Saat (hari Kiamat) semakin dekat, bulan pun terbelah"
Ayat inilah yang membuat seorang lelaki
berkebangsaan Inggris bernama David Musa Pidcock masuk Islam. Sewaktu ia
membaca ayat diatas, ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin bulan bisa terbelah
kemudian bersatu kembali? Lalu dia menonton siaran langsung sebuah dialog di
televisi. Dialog itu dipandu James Burke, dan dihadiri oleh tiga pakar
astronomi dari Amerika. Sang presenter mencela kegiatan perjalanan antariksa,
yang menurutnya termasuk pemborosan. Diantaranya pada tahun 1969, yang mencapai
angka US$100 miliar, hanya untuk menurunkan sseorang Neil Armstrong di bulan.
Padahal, masih banyak manusia yang hidup dalam kemiskinan, menderita kelaparan,
dan mengidap berbagai penyakit.[5]
Para pakar astronomi itu menjawab, tujuan dari
perjalanan-perjalanan antariksa adalah studi ilmiah terhadap benda-benda
langit. Dan, studi ini telah berhasil mendapatkan fakta ilmiah yang sangat
hebat dan mengagumkan. Fakta ilmiah tersebut adalah, bulan pada masa lalu
terbelah menjadi dua kemudian bersatu kembali. Bukti mengenai hal ini adalah
adanya celah melengkung dan panjang di bebatuan bulan. Celah itu berada di
permukaan hingga ke dalam perut bulan. Beberapa peralatan untuk meneliti gempa
pun digunakan untuk memastikan kondisi celah tersebut. Celah tersebut memiliki
kedalaman hingga beberapa kilometer, sementara lebarnya antara 500 hingga 5.000
meter. Celah itu memanjang sejauh 250km berupa garis lurus dan melengkung, dan
berawal dari kutub selatan bulan, disisi yang tidak terlihat oleh bumi. Setelah
mendengar pernyataan itu, David merasa senang dan kagum. Ia segera membaca
terjemahan ayat-ayat Al-Quran, dan karena ayat ini juga dia masuk Islam.
Sesungguhnya, fenomena alam ini merupakan mukjizat
dari alam itu sendiri. Sebagian orang mengatakan bahwa sains modern telah
membuktikan adanya pembelahan komet Brooks pada tahun 1889. Namun, komet itu
tidak bersatu kembali seperti halnya bulan. Jika saja bulan tidak menyatu
kembali, tentu hal itu hanya menjadi fenomena alam biasa, tidak termasuk
mukjizat.[6]
b.
Sistem Penalaran
Salah
satu faktor terpenting yang dapat menghalangi perkembagan ilmu pengetahuan
terdapat dalam diri manusia sendiri. Para psikologi menerangkan bahwa
tahap-tahap perkembangan kejiwaan dan alam pikiran manusia dalam menilai suatu
ide umumnya melalui tiga fase. Fase pertama, menilai baik buruknya suatu
ide dengan ukuran yang mempunyai hubungan dengan alam kebendaan atau
berdasarkan pada pancaindera yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan primer. Fase
kedua, menilai ide tersebut atas keteladanan yang diberikan oleh seseorang;
dan atau tidak terlepas dari penjelmaan dalam diri pribadi seseorang. Fase
ketiga (fase kedewasaan), adalah suatu penilaian tentang ide didasarkan
atas nilai-nilai yang terdapat pada unsur-unsur ide itu sendiri, tanpa
terpengaruh oleh faktor ekstren yang menguatkan atau melemahkannya (materi dan
pribadi).
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa-masa
pertama dalam pembinaan masyarakat Islam, pandangan atau penilaian segolong
orang Islam terhadap nilai al-fikrah Al-Qur'aniyyah (ide yang dibawa
oleh Al-Quran), bahwa ide-ide tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
pribadi Rasulullah SAW. Dalam perang Uhud misalnya, sekelompok kaum Muslim
cepat-cepat meninggalkan medan pertempuran ketika mendengar berita wafatnya
Rasulullah SAW., yang diisukan oleh kaum musyrik. Sifat kekeliruan ini lahir
akibat pandangan mereka terhadap nilai suatu ide baru sampai pada fase kedua,
atau dengan kata lain belum mencapai tingkat kedewasaannya. [7]
Al-Qur'an
tidak menginginkan masyarakat baru yang dibentuknya memandang menilai suatu ide
apa pun coraknya hanya terbatas sampai fase kedua saja, karenanya turunlah ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌ ج قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُوْلُ قلى اَفَا ئِنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ
انْقَلَبْتُمْ عَلَى اَعْقَابِكُمْ قلى وَ مَنْ يَّنْقَلِبْ عَلى عَقِبَيْهِ فَلَنْ
يَّضُرَّ اللهَ شَيْئًا قلى وَ سَيَجْزِى اللهُ الشّكِرِيْنَ (۱٤٤)
“Muhammad
hanyalah kecuali seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah
jika dia wafat atau terbunuh kamu berpaling ke agamamu yang dulu? Barangsiapa
yang berpaling menjadi kafir; maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun,
dan Allah akan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur kepada-Nya” (QS Ali Imran: 144).
Ayat
tersebut berbentuk istifham taubikhi istinkariy -yaitu pertanyaan yang
mengandung kecaman, sekaligus larangan untuk melakukannya- yang berarti
larangan menempatkan al-fikrah
Al-Qur'aniyyah hanya sampai fase kedua. Ayat ini merupakan dorongan kepada
masyarakat untuk lebih meningkatkan pandangan dan penilaiannya atas suatu ide
ke tingkat yang lebih tinggi sampai pada fase ketiga (fase kedewasaan). Ayat
ini juga melepaskan belenggu-belenggu yang dapat menghambat kemajuan ilmu
pengetahuan dalam alam pikiran manusia.[8]
Untuk
lebih menekankan kepentingan ilmu pengetahuan, Allah berseru dalam surat
Az-Zumar ayat 9,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا
يَعْلَمُوْنَ (٩)
“Katakanlah,
"apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak
mengetahui?” (QS Az-Zumar:
9).
Ayat
ini menekankan kepada masyarakat betapa besar nilai ilmu pengetahuan dan
kedudukan cendekiawan dalam masyarakat. Demikian juga ayat,
هَا أَنْتُمْ هَٰؤُلَاءِ حَاجَجْتُمْ
فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ ۚ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Begitulah kamu!
Kamu membantah tentang apa yang kamu ketahui, tetapi mengapa kamu juga membantah
tentang apa yang tidak kamu ketahui?” (QS
Ali Imran: 66).
Ayat
ini merupakan kritikan pedas terhadap mereka yang membantah suatu persoalan
tanpa adanya data objektif, maupun ilmiah, yang berkenaan dengan persoalan
tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian membentuk iklim baru dalam
masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan.
Iklim baru inilah yang kemudian menghasilkan tokoh seperti, Ibnu Sina,
Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya. Ialah
yang membantu Muhammad bin Ahmad menemukan angka 0 pada tahun 976, yang
akhirnya mendorong Muhammad bin Musa Al-Khawarizmiy menemukan perhitungan
Aljabar. Tanpa penemuan-penemuan tersebut, Ilmu Pasti akan tetap merangkak dan
meraba-raba dalam alam gelap gulita.
Mewujudkan
iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting daripada menemukan teori ilmiah.
Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberi petunjuk kepada manusia untuk
kebahagiaan di dunia dan di akhirat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan
adalah mendorong manusia untuk menggunakan akal pikirannya serta menambah ilmu
pengetahuan.[9]
c.
Hikmah Ayat ilmiah Al-Quran
Ada
sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh Al-Quran, tetapi tujuan pemaparan
ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan mendorong
manusia untuk mengadakan observasi dan penelitian untuk lebih menguatkan iman
dan kepercayan kepada-Nya. Mengenai hal ini, Mahmud Syaltut mengatakan dalam
tafsirnya:
Sesungguhnya Allah tidak menurunkan Al-Quran untuk menjadi satu
kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah,
problem-problem seni serta aneka warna pengetahuan.
Di
dalam asbabun nuzul,
diceritakan bahwa suatu hari datang seseorang kepada Rasul dan bertanya: “Mengapakah
bulan kelihatan kecil bagaikan benang, kemudian membesar sampai menjadi
sempurna purnama?” Lalu, Rasulullah SAW. mengembalikan jawaban pertanyaan
tersebut kepada Allah, lalu Allah berfirman:
يَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ قلى قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ قلى (١٨٩)
“Mereka bertanya kepadamu perihal
bulan. Katakanlah bulan itu untuk menentukan waktu bagi manusia dan mengerjakan
haji” (QS Ali Imran: 189).
Jawaban
Al-Quran ini bukan jawaban ilmiah, tetapi jawaban ini sesuai dengan tujuan
pokoknya. Ada pula yang bertanya mengenai ruh, Al-Quran menjawabnya dalam surat
al-Isra ayat 85:
وَيَسْئَلُوْنَكَ
عَنِ اْلرُّوْحِ قلى قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِرَبِّيْ وَمَا
اُوْتِيْتُمْ مِنَ اْلعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا (٨٥)
“Mereka bertanya kepadamu tentang
ruh. Katakan: “Ruh adalah urusan Tuhanku, kamu sekalian hanya diberi sedikit
ilmu pengetahuan.“ (QS al Isra`: 85).
Dalam
ayat ini, Al-Quran tidak menerangkan hakikat ruh, karena tujuan pokok Al-Quran
bukan menerangkan persoalan-persoalan ilmiah, tetapi tujuannya adalah memberi
petunjuk pada manusia. Mahmud Syaltut setelah membawakan kedua ayat tersebut,
lalu menulis: “Tidakkah terdapat dalam hal ini bukti nyata yang menerangkan
bahwa Al-Quran bukan satu kitab yang dikehendaki Allah untuk menerangkan haqaiq al-kawn (kebenaran-kebenaran
ilmiah dalam alam semesta), tetapi ia adalah kitab petunjuk, ishlah dan tasyri’.” [10]
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan,
Bandung, cet.III, 1996.
_______________, Membumikan Al-Qur'an, Mizan, Bandung,
cet.VII, 1994.
Nadiah
Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam Al-Quran, Zaman, Jakarta, cet.III 2014
[2]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung:
Mizan, 1996) hlm. 434-435
[3]
M. Quraish Shihab, Membumikan al Quran (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 41
[5] Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam Al-Quran (Jakarta:
Zaman, 2014), hlm. 442
[6] Ibid, hlm. 443
[7]
M. Quraish Shihab, Membumikan al Quran (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 42
[8]
Ibid, hlm. 43
[9]
Ibid, hlm. 44
[10]
M. Quraish Shihab, Membumikan al Quran (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 51-52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar