DINASTI BUWAIHIYAH
Diajukan untuk
memenuhi tugas Sejarah Kebudayaan Islam
yang diampu oleh
Prof. Dr. H.
Budi Sulistiono, M. Hum
disusun oleh:
Kamalia Istifadati
Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dinasti Buwaihiyyah adalah salah satu Dinasti Abbasiyyah yang
beraliran Syi’ah yang muncul pada 334 H/945 M. Dinasti ini muncul sebagai
pemegang kekuasaan di Irak dan Iran Barat yang didahului oleh suatu periode
perpecahan di dalam kerajaan Abbasiyyah, lepasnya kendali kekuasaan khalifah,
dan meluasnya perselisian masyarakat di ibukota Baghdad. Pada zaman itu, Kerajaan
Islam terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil (disintegrasi). Kondisi
ini dengan tepat dibandingkan oleh Al-Ma’udi dengan dinasti-dinasti kecil (muluk
al-thawaif) di Diadochi, yang bermunculan menyusul kematian Alexander. Irak
misalnya berada di bawah kontrol efektif Amir al-Umara (panglima
tertinggi) Ibn Ra’iq, tempat khalifah Abbasiyyah kehilangan kekuasaan eksekutif
yang sesungguhnya. Pada awal kemunculannya, Buwaihiyah menguasai seluruh Fars,
Ray, Isfahan, dan Jibal.[1]
Pada masa kekuasaan dinasti Buwaihiyyah ini, khalifah hanya
merupakan simbol persatuan, sedangkan roda pemerintahan dipegang oleh amir
al-umara atau perdana menteri. Khalifah hanya menjadi boneka dan tidak
mempunyai kekuasaan untuk memerintah kerajaan. Amir al-Umara berkuasa penuh
atas pemerintahan bahkan menentukan kebijakan yang menguntungkan kerajaan. Satu
hal yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana sebenarnya kronologis
terjadinya dinasti Buwaihiyyah tersebut, sampai-sampai Amir al-Umara mampu
memerintah melebihi seorang Khalifah.[2]
B.
Rumusan
Masalah.
1.
Bagaimana
Sejarah Berdirinya Dinasti Buwaihiyyah ?
2.
Mengetahui
Wilayah Kekuasaan Dinasti Buwaihiyyah.
3.
Bagaimana
Penyelenggaraan Pendidikan pada masa Dinasti Buwaihiyyah?
4.
Siapa
saja Tokoh-tokoh Cendikiawan Dinasti Buwaihiyyah?
5.
Apa
saja Peninggalan Dinasti Buwaihiyyah ?
C.
Tujuan
Penulisan.
Sehubungan uraian di atas, Selain penyusun menulis untuk memenuhi tugas, penyusun juga berharap semoga makalah ini
bisa menjadi salah satu rujukan pembaca dalam memahami
Sejarah Pendirian, Wilayah Kekuasaan,
Penyelenggaraan Pendidikan, Tokoh-tokoh Cendikiawan dan Peninggalan Dinasti
Buawaihiyyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Berdirinya Dinasti Buwaihiyyah (334 H/945 M – 447 H/l055 M)
Pada masa
pemerintahan Bani Abbas, terjadi perebutan kekuasaan, terutama di awal
berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada
periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha
untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha
merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani
Abbas. Hal ini terjadi karena, khalifah sudah dianggap sebagai jabatan
keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan, kekuasaan
dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan
dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka.
Tentara
Turki berhasil merebut kekuasaaan tersebut.[3]
Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan
merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik
mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode
kedua, pada periode ketiga (945M - l055 M), Daulah Abbasiyah berada di
bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih.
Dinasti
ini muncul di Irak dan Iran Barat yang diawali dengan peristiwa perpecahan di
tubuh Dinasti Abbasiyah. Sejarah mencatat bahwa orang-orang Buwaihiyyah
adalah Suku Dailami yang berasal dari kabilah Syirdil Awandan, dan dataran
tinggi Jilan sebelah selatan Laut Kaspian. Suku Dailami merupakan orang-orang yang
kuat dan terkenal karena kekerasan mereka, yang dikaruniai semangat kebebasan
yang tinggi. Mereka dapat bertahan dengan baik di benteng pertahanan yang
sekaligus digunakan sebagai sarana latihan. Benteng itu terletak di lereng
gunung dengan nama Elburz yang secara efektif membentengi mereka dari arah
selatan.[4]
Dinasti
Buwaihiyyah didirikan oleh tiga bersaudara dari putra-putra Abu Syuja' Buwaih(Buya), pencari
ikan yang tinggal di daerah Dailam yaitu;
Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini
(Ali, Hasan dan Ahmad) memasuki dinas militer yang ketika itu dipandang banyak
mendatangkan rezeki. Pada mulanya mereka bergabung dengan pasukan Makan Ibn Kali, salah
seorang panglima perang daerah Dailam dari
Dinasti Saman. Di profesinya yang baru itu, Ali dan Ahmad berkedudukan sebagai
panglima perang bersama pasukannya Makan Ibnu Kali. Setelah pamor Makan Ibn Kali memudar,
mereka kemudian berpindah ke kubu panglima Mardawij Ibn Zayyar Ad-Dailamy . Karena
prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur Al-Karaj, dan dua
saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari Al-Karaj itulah
ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula.
Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan
menjadikan Syiraz sebagai
pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal (terbunuh pada tahun 943
M), Bani Buwaih yang
bermarkas di Syiraz itu
berhasi menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Rayy, Isfahan, dan
daerah-daerah Jabal. Ali berusaha
mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, Ar-Radhi Billah dan
mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan
legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz danWasith.[5]
Dari sinilah,
pasukan Buwaih dengan mudah memasuki Baghdad untuk menguasai pusat pemerintahan
Abbasiyah. Ketika Baghdad sedang dilanda kekacauan politik akibat perebutan jabatan Amir al-Umara antara Wazir dan komandan militer. Pihak militer meminta bantuan Ahmad
al Buwaihiyyah yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan tersebut dikabulkan dan
Ahmad bersama pasukannya tiba di Baghdad
pada Jumadil Ula 334 H/945 M, ia disambut oleh khalifah dan diberikan kedudukan
sebagai Amirul-Umara serta diberi gelar “Mu'izz Ad-Daulah”.
Saudaranya yang bernama Ali disahkan berkuasa di daerah Selatan Persia dengan
pusatnya di Syiraz dengan gelar “Imam Ad-Daulah”, sedangkan Hasan memerintah di daerah utara, Isfahan dan Ray
dan diberi gelar “Rukun Ad-Daulah”. Setelah berhasil menguasai Baghdad
dengan mengusir kekuatan militer Turki Bani buwaihiyyah segera memindahkan
pusat pemerintahnya dari Syirad ke Baghdad.[6]
Pada masa
pemerintahan Bani Buwaih ini, para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal nama
saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani
Buwaih. Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena
Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbasiyyah adalah
Sunni. Selama masa kekuasaan Bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara
kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakan tentara, dan sebagainya.
Setelah Bani
Buwaihi memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad, mereka membangun
gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Daral-Mamlakah. Meskipun demikian,
kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali Ibn Buwaih
(saudara tertua) bertahta. Dengan kekuasaan militer Bani buwaih, beberapa
dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakkan diri dari Baghdad seperti Bani
Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat
dikendalikan kembali dari Baghdad.[7]
B.
Wilayah Kekuasaan Dinasti Buwaihiyyah
Dinasti Buwaihiyyah merupakan putra-putra yang berasal dari suku
Dailam yang menempati daerah pegunungan di sebelah barat daya laut Kaspia. Dinasti ini muncul sebagai pemegang kekuasaan di Irak dan Iran
Barat yang didahului oleh suatu periode perpecahan di dalam kerajaan
Abbasiyyah. Mereka
terdiri dari Ali bin Buwaih yang berkuasa di Isfahan, Hasan bin Buwaih yang
berkuasa di Ray dan Jabal. Dan Ahmad bin Buwaih yang berkuasa di al-Ahwaz dan
Khuzistan.[8]
Kekuasaan Buwaihiyyah membentang dari laut Caspia sampai dengan lembah Gulf,
dan membentang dari Isfahan hingga mencapai wilayah perbatasan Persia.[9]
C. Penyelenggaraan
Pendidikan Pada masa Dinasti
Buwaihiyyah
Kekuasaan
Buwaihiyyah
mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan ‘Addud Ad-Daulah (949-983).
Hal yang menarik yang bisa kita
banggakan dalam pola dan tatanan kehidupan masyrakat pada masa Dinasti ini.
Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama,
para penguasa Bani Buwaih juga mencurahkan
perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan dan kesusasteraan. Para pangeran dan wazir Dinasti ini
menjadi contoh dalam memberikan dukungan terhadap berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Pada masa tersebut, Baghdad sebagai tempat berkembangnya
Dinasti tersebut mengalami kemajuan yang sangat
pesat. Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan. Kedekatannya dengan para Ilmuan menjadikan
loyalita mereka terhadap pemerintahan sangat tinggi. Istana pemerintahan pernah
dijadikan sebagai tempat pertemuan Ilmuwan saat itu. Bahkan saat itu dibangun
Rumah sakit besar yang terdiri dari 24 orang dokter, dan digunakan juga sebagai tempat Praktek
mahasiswa Kedokteran saat itu. Di bidang sastrawan para penguasa saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan para sastrawan
untuk menyampaikan syair-syair indahnya di istana. Sehingga bukan sebuah
keanehan jika sarjana dan penyair sering kali melakukan pengembaraan dari satu
istana menuju istana
yang lain.
Para
penguasa pun sering mengumpulkan
para kerabatnya dalam sebuah majlis atau pertemuan untuk
mempelajari disiplin ilmu pengetahuan seperti; ilmu kalam, hadits, fikih,
kesusastraan dan lain sebagainya dengan dipandu oleh para guru yang diundang
secara khusus ke dalam istana.[10]
Selain di istana, pertemuan dalam membahas ilmu
pengetahuan juga diselenggarakan di masjid-masjid, rumah-rumah pribadi,
kedai-kedai, alun-alun bahkan di taman-taman kota. Laporan yang beragam
menyebutkan pertemuan-pertemuan yang diadakan di bawah atap terbuka (thaq) dan
pintu gerbang (bab). Atap terbuka atau pintu gerbang tersebut mencakup
wilayah-wilayah di sekelilingnya. Pasar-pasar juga dipergunakan untuk diskusi,
umpamanya, Pasar (Suq) Yahya bin Khalid di Baghdad, sering disebutkan. Bahkan
kamar-kamar mandi umum dimanfaatkan pula untuk melakukan obrolan-obrolan
ilmiah, tentu saja sepadat mungkin mengindari masalah-masalah keagamaan. Yang
paling terkenal dari forum-forum akademis yang tidak resmi adalah toko buku
yang menjamur di Baghdad selama masa Abbasiyyah. Pemiliknya adakalnya
orang-orang yang berpengetahuan, seperti yang dibuktikan oleh contoh-contoh
dari Ibn Al-Nadim dan Yaqut. Suq al-Warraqin (Pasar para Pedagang Buku) sering
disebutkan sebagai tempat pertemuan para sarjana. Selain itu, kedai-kedai lain,
rumah tempat celupan, banyak digunakan sebagai tempat orang terpelajar bertemu
dan banyak masyarakat duduk di depan pintu menyimak ceramah yang disampaikan
para ahli, seperti Abu Abdullah bin Ya’kub.
Tidak hanya itu, istana-istana para raja dan wazir
juga digunakan sebagai tempat kegiatan ilmiah. Yakni untuk keperluan majelis
al-munadzarah (pertemuan dialog) atau mujadalah (perdebatan), yaitu sidang
pembahasan, atau pertemuan untuk berbagai perlombaan. Raja dan para
pengiringnya, tidak diragukan lagi, sangat senang menyaksikan para filolog,
penyair, ahli bahasa, teolog, dan filosof melakukan perdebatan, mirip dengan
raja-raja Romawi yang menyaksikan pertarungan para gladiator, atau kerajaan
Abad Pertengahan menyaksikan pertarungan para kesatria di atas panggung kuda
dengan mempergunakan tombak. Istana-istana para pejabat pemerintahan juga
dipergunakan untuk diskusi-diskusi yang lebih santun mengenai masalah-masalah
ksusasteraan dan filsafat. [11]
D. Tokoh-tokoh
Cendikiawan Dinasti Buwaihiyyah
Sebagaimna para khalifah Abbasiyyah periode
pertama, para penguasa Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan
sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusatraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya, al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037
M), Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w.
1030 M), Al-Farghani, Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa,[12]
Al-Kindi, Sijistani, Nadhim, Al-Amiri, Ibn Rusyd. Dan pada
masa ini dilakukan penerjemahan terhadap ratusan karya-ilmiah
Yunani-Romawi ke bahasa Arab oleh Hunain Ibn Ishaq, penerjemah Kristen
Nestorian, Yuhanna ibn al-Hailan dan sebagainya. Yang bertempat
di Baghdad dan Iran sebagai pusat peradaban Islam dengan
beragam istana, dibawah kontrol dinasti Buwaih yang dipimpinan oleh 'Adhud Al-Daulah.[13]
Karya-karya Ilmuan besar diantaranya:
1). Al-Farabi
(w.950 M)
Al-Farabi lahir di Wasi, sebuah desa di Farab
wilayah Transoxania pada tahun 258 H/870 M dan wafat di Aleppo (Suria) pada
tahun 339 H/950 M. Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin
Tarkhan bin Uzlag al-Farabi, ia
selalu berpindah tempat dari waktu ke waktu. Ia dikenal rajin belajar serta
memiliki otak yang cerdas. Al-Farabi banyak belajar agama, bahasa Arab, bahasa
Turki, dan bahasa Persia. Setelah dewasa, ia pindah
ke Baghdad dan tinggal di sana selama 20 tahun serta mempelajari filsafat,
logika, matematika, etika, ilmu politik dan musik. Al-Farabi mengarang beberapa buku dalam
berbagai bidang di antaraya logika, fisika, ilmu jiwa, kimia, ilmu politik, dan
musik. Beberapa di antara karya al-Farabi yang termasyhur adalah sebagai
berikut:
1.
Al-Jam’u Baina Ra’yi al-Hakimaini (memeprtemukan
dua pendapat filsuf, Plato dan Aristoteles)
2.
Uyun al-Masa il ( pokok-pokok persoalan)[14]
3.
Fusus al-Hikam
4.
Al-Mufarriqat
5.
Ara’u Ahl al-Madinah al-Fadhilah[15]
2). Ibnu Sina (980-1033M)
Ibnu
Sina dilahirkan di Afsyanah, Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal di Hamdan
pada tahun 1037 M. Nama lengkapnya adalah Abu al-Husain bin Abdullah bin
Sina. Ia merupakan seorang dokter dan filsuf Islam ternama. Di Barat ia
terkenal dengan nama Avicenna. Sejak kecil, Ibnu Sina mempelajari Al-Qur’an dan
ilmu-ilmu agama.setelah itu, ia mempelajari matematika, logika, fisika,
geometri, astronomi, metafisika dan kedokteran.
Profesinya
di bidang Kedokteran dimulai pada usia 17 tahun ketika ia berhasil menyembuhkan
Nuh bin Mansur, salah seorang penguasa Dinasti Samaniyah. Pada masa Dinasti
Hamdani, ia dua kali menjabat sebagai menteri. Kebesaran Ibnu Sina terlihat
pada gelar yang diberikan kepadanya. Di bidang filsafat ia digelari asy-Syaikh
ar-Ra’is (Guru Para Raja). Di bidang kedokteran ia digelari pangeran para
doker.
Ibnu
Sina meninggalkan tidak kurang dari 200 karya tulis. Kebanyakan tulisan itu
menggunakan bahasa Arab, sedangkan sebagian lain menggunakan bahasa Persia.
Buku-bukunya yang terkenal, antara lain:
1.
Asy-Syifaa’ (penyembuhan)
2.
Al-Qananuun fit-Tibb (peraturan-peraturan dalam
kedokteran)
3.
Al-Isyaarat wa at-Tanbiihaat (isyarat dan
penjelasan)
4.
Manthiq al-Masyriiqiyyiin(logika timur)[16]
Ibnu
Sina telah menghasilkan beberapa karya monumental di bidang ilmu pengetahuan,.
Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ketika berbicara tentang
pemikiran Islam atau ilmu pengetahuan Islam, maka tidak terlepas dari
kontribusi Ibnu Sina. Bahkan dapat dikatakan bahwa berbicara tentang Ibnu Sina
berarti berbicara tentang pemikiran dan kejayaan Islam.[17]
3). Ibnu Maskawaih (w.1030M)
Ibnu Maskawaih lahir
pada tahun 941 M dan meninggal pada tahun 1030 M. Nama lengkapnya adalah Abu
Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Maskawaih. Ia adalah penjaga
buku-buku koleksi wazir al-Muhallabi. Kemudian bekerja pada wazir Ibn al-’Amid
dan al-Fath, putra al-’Amid di era ‘Adud ad-Daulah dari Dinasti Buwaihi.
Kariernya semakin cermelang sat menjadi pejabat di kota Ray. Maskawaih dikenal
berintegrasi dan lugas dalam mengungkapkan pikiran-pikirannya. Sejak muda ia
telah mendalami filsafat, kedokteran, dan kimia.
Karya monumentalnya di
bidang sejarah, Tajarub Al-Umam, mengupas masa Dinasti Abbasiyyah sejak
tahun 295 H (masa Khalifah Al-Muqtadir) hingga 369 H termasuk kondisi sosial,
konflik-konflik, dan konflik Abbasiyyah dengan wilayah-wilayah sekitarnya
seperti Byzantium. Selain itu, juga mengupas sejarah Dinasti Buwaih dan dinilai
sebagai sumber orisinal mengenai sejarah Islam di masa kritis tersebut teutama
yang berkaitan denngan sejarah sistem administrasi, moneter, dan kemileteran.
Karya Maskawaih ini telah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Margoliouth dan
Amedroz dengan judul The Eclipse of the Abbasid Caliphate dan
dipublikasikan pertama kali di London (1920-1921).[18]
Karya-karya Ibnu Maskawaih yang lain sebagai berikut:
1.
Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, sebuah kitab yang mendeskripsikan etika
dan filsafat social masyarakat terdahulu. Suatu bentuk pemilihan antara
perilaku yang sesuai dengan syari’at dan perilaku yang menyimpang,
beberapa pengalaman hidup yang dilaluinya, dan jalan metodologis kearah etika
yang baik.
2.
Kitab al-Sa’adah, sebuah kitab filsafat etika yang
menjadi orientasi semua manusia. Kitab ini disusun sebagai hadiah bagi ibn
al-Amid, gurunya di ray.
3.
Kitab Fawz al Khabir, sebuah kitab pegangan untuk
mmperoleh “keuntungan” yang besar dalam sekolah kehidupan.
4.
Kitab Fawz al-Shagir, sebuah kitab pengangan untuk kehidupan sehari-hari.
5.
kitab Jawidan Khard, sebuah kitab Persia yang berisi tentang
hikmah-hikmah dan sastra.
6.
kitab Uns
al-Farid, sebuah kitab ringkasan yang didalamnya dibahas kisah-kisah, syair-syair,
hikmah-hikmah, dan perumpamaan-perumpamaan.
7.
kitab al Sayr, sebuah kitab sejarah
perjalanan seseorang dan bagai problematika yang dihadapinya, serta dibubuhkan
pula jalan keluarnya.
8.
kitab al Mustwfa, sebuah kitab berisi syair-syair pilihan.
9.
kitab al-Adwiyah al-Mufrodah, al Asy Ribah, fi Tarqibal-Bajat
min al-Ath’imah, semuanya berbicara mengenai kedokteran, kesehatan dan gizi yang
baik untuk manusia.
4).
Al-Afghani
Beberapa
karyanya
1.
Dibidang politik, yang
mengajarkan bahwa semua umat Islam harus bersatu di bawah pimpinan seorang
khalifah untuk membebaskan mereka dari penjajahan Barat.
2.
Dibidang Agama, Jamaluddin al-Afghani berpendapat, bahwa
kesejahteraan umat Islam tergantung
a)
Akal manusia harus disinari dengan tauhid, membersihkan
jiwanya dari kepercayaan Tahyul
b)
Orang harus
merasa dirinya dapat mencapai kemuliaan budi pekerti yang utama
c)
Orang harus
menjadikan aqidah, sehingga prinsip yang pertama dan dasar keimanan harus
diikuti dengan dalil dan tidaklah keimanan yang hanya ikutan semata (taqlid).
3. Ajarannya tentang Qada dan Qodar
Menurut al-Jabr (fatalism),
qada dan qodar adalah penyerahan diri secara mutlak tanpa usaha dan ini suatu
ajaran baru (bid’ah) dalam agama yang dimasukkan dalam ajaran Islam oleh musuh
Islam untuk suatu tujuan politik tertentu agar Islam hancur dari dalam.
5). Al-Masudi (956)
Nama lengkapnya adalah abu al-Hasan ‘Ali ibn
Husayn ibn Ali (Baghdad – Fustat, Mesir 956 M. Ia adalah seorang sejarawan dan
ahli geografi, ahli geologi, dan ahli zoology Muslim; juga mempelajari ilmu
kalam (teologi), akhlaq, politik, dan ilmu bahasa. Singkatnya, dia adalah
seorang tokoh eksiklopedik dalam sains Islam, tetapi sangat dikenal sebagai
seorang ahli geografi dan sejarah. Buku-buku Karyanya adalah: Kitab Akhbar
az-Zaman (sejarah dunia), Kitab al-Ausat (tentangn sejarah umum) kemudian kedua
kitab tersebut digabung menjadi kitab Muruj adz-Dzahab wa Ma’adin (Meadows of
Gold and Mines of Precious Stones), Kitab at-Tanbih wa al-Isyraf (tentang
filsafat alam dan teori evolusi).
6). Abu
ar-Rayhan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (973-1048)
Nama lengkapnya adalah
Abu ar-Rayhan Muhammad bin Ahmad al-Biruni. Dia lahir
di Khawarizm, Turkmenia pada bulan Dzulhijjah 362 H/973 M dan meninggal duniaa
di Ghazna pada bulan Rajab 448 H/1048 M. Ia mahir matematika, astronomi,
fisika, sejarah, geografi, bahasa, dan budaya. Buku-buku karyanya tentang
sejarah peradaban India yaitu: Tahqiq ma li al-Hind min Maqulah
Maqbulah fi al-Aql Au Mardzulah, Tarikh al-Umam asy-Syaqiyah, dan Tarikh
al-Hind (sejarah Hindia). Karyanya dalam bidang matematika, Kitabal-Qanun
al-Mas’udi fi al-Haya wa an-Nujum (astronomi geografi dan matematika). Dalam
bidang filsafat, al-Irsyad, Tahdid Nihayat al-Amakin Litashih Masafat
al-Masakin, dll. Beliau telah menulis karyanya sampai 138 karya.
7). Abdurrahman
bin Umar as-Sufi Abu Husayn
Nama lengkapnya
adalah Abdurrahman bin Umar as-Sufi Abul Husayn. Ia lahir tahun 903 M (291
H) di Rayy, Persia. Ia seorang astronom terkenal yang bekerja di
istana bersama amir Adud al-Dawla. Karyanya yang terkenal adalah Kitab
al-Kawakib ats-Tsabit al-Musawwar (tentang catalog bintang). Karya lainnya yang
telah diilustrasi kembali seperti Notices at Extraits (oleh Causin de
Parceval), Description des Etoiles Fixes par Abd al-Rahman as-Sufi (oleh
H.C.F.C Schjellerup di St. Petersburg, 1874). Beliau meninggal pada tahun 986
M/376 H.
8). Abu
Ali al-Hasan bin al-Haytsam al-Basri al-Misri
Nama lengkapnya
adalah Abu Ali al-Hasan bin al-Haytsam al-Basri al-Misri. Masyarakat Barat
lebih mengenalnya dengan sebutan (al-Hazen 1973), Avenalan, Avenetan. Lahir
tahun 1038 di Basrah, Irak. Ia adalah ahli fisika dan matematika terbaik.
Selain itu ia menguasai beragam ilmu, seperti fisika, astronomi, matematika,
pengobatan, dan filsafat. Pendidikan tingginya ia tempuh di Universitas
Al-Azhar. Karya beliau dibidang Optik yaitu: Kitab fi Al-Manasit (Kamus
Optika), buku-buku tentang lingkaran cahaya dan gerhana, tentang astronomi dll.
Beliau wafat tahun 1039 M.
Tokoh-tokoh Kesusastraan Bahasa arab
dan fersia
1.
Al-Ashfani, Abu
al-Faraj (897-966)
2.
Badi al-Zaman al
Hamadzani (933-1007)
3.
Abu Hayyan at-Tauhidi (1018)
4.
Daqiqi (1020)
5.
Rudaqi (930-an)
6.
Al-Firdausi, Abu
al-Qosim (920-1020)
7.
Abu Sa’id ibn Abi al-Khair (1049)[19]
E.
Peninggalan Dinasti Buwaihiyyah
Kekuasaan Bani
Buwaih berlangsung selama 110 tahun, yaitu dari tahun 945-1055 M. Banyak
kemajuan yang dicapai selama pemerintahan lebih seabad itu. Para ahli sejarah sepakat
bahwa kemajuan dan kejayaan dinasti Buwaih diperoleh ketika pemerintahan Adud
ad-Daulah. Philip K. Hitti juga mencatat peran penting Bani Buwaih dalam
pembangunan di kota Baghdad. Menurut Hitti, di era kekuasaannya, para
penguasa Buwaih berhasil memperindah kota Baghdad,
memperbaiki dan membuat saluran air, mendirikan masjid Negara, rumah sakit umum,
dan gedung-gedung pemerintahan. Gedung yang paling menarik adalah sebuah rumah
sakit yang diberi nama Bimaristanbal-Adudi. Rumah sakit tersebut dibangun
dengan menelan biaya 100.000 dinar atau dua juta dirham; memiliki 24 dokter
ahli yang sekaigus menjadi guru besar di fakultas kedokteraan.[20] Kemajuan tersebut
diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi; pertanian, perdagangan, dan
industri, terutama permadani.[21]
Menurut Ensiklopedi Britannica
Online, penguasa Buwaih sempat membangun bendungan jembatan yang membelah
Sungai Kur dengan Shiraz. Jembatan itu mampu menyambungkan Dinasti Buwayh dengan
kerajaan lainnya seperti Samanid, Hamdaniyah, Bizantium dan Fatimiyah.
Penguasa Buwaih pun turut menopang geliat seni dan kesusasteraan.[22]
Perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun
di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, Adud ad-Daulah (977-982) yang semua
buku-bukunya disusun di atas lemari-lemari, didaftar dalam katalog, dan diatur
dengan baik oleh staf administrator yang berjaga secara bergiliran.[23]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bani
Buwaih adalah salah satu bentuk kejayaan pada masa Bani Abbasiyah pada
periode ketiga walaupun khalifah Bani Abbas hanya sebagai simbol saja tapi
rakyat pada masa itu sejahtera seperti pada masa periode pertama. Ini adalah
salah satu bentuk keberhasilan dari tiga bersaudara yang mendirikan daulah ini
yaitu Ahmad, Ali dan Hasan.
Selain
berhasil dalam menciptakan kesejahteraan rakyatnya, Bani Buwaih juga berhasil
mengembangkan ilmu pengetahuan dalam berbagai ilmu seperti astronomi, kedokteran,
teologi dan sebagainya.
Namun
seperti apapun bentuk keberhasilan yang Bani Buwaih raih tak lepas dari usaha
dan kerja keras dari ketiga bersaudara tersebut. Tidak hanya itu suatu Daulah
akan berjaya jika hubungan antara para khalifah atau para amirnya selalu
terjalin baik. Hal ini terbukti pada Daulah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Sejarah
Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya. Jakarta : Rajawali
Pers. 2012.
Subki, A’la
dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Untuk Tsanawiyah. Klaten: CV. Gema Nusa,
t.th.
http://www.slideshare.net/ReplianisAni/bani-buwaihi, diakses 10 September 2016, jam
21:28
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pres. 2004.
Supriyadi,
Dedi. Sejarah Peradaban Islam.
Bandung: Pustaka Setia. 2008.
Saefuddin,
Didin. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: UIN Jakara Press. 2007.
K,
Ali. Sejarah Islam dari Awal hingga Runtuhnya Dinasti Usmani (tarikh pramodern).
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1997.
Yusri
Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
[1] Abuddin Nata, Sejarah
Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta : Rajawali
Pers, 2012), hlm. 223.
[2] Muhammad Fathurrohman, ”Dinasti Buwaihi dan Perkembangannya”, https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/12/13/dinasti-buwaihi-dan-perkembangannya/, diakses 09 September 2016, jam 13:15 WIB.
[3] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pres, 2004), hlm. 68-69.
[4] Abuddin Nata, Sejarah
Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta : Rajawali
Pers, 2012), hlm. 224.
[5]Majelis Penulis, “Akhir Sejarah
Daulah Abbasiyah”, http://majelispenulis.blogspot.co.id/2012/03/akhir-sejarah-daulah-bani-abbasiyah.html, diakses 08 September 2016, jam 10:40 WIB.
[6] Muhammad Alim Ihsan, “Perkembangan
Dakwah Dibidang Politik dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Ghaznawi, Buwaih
dan Saljuk”, http://almishbahjurnal.com/index.php/al-mishbah/article/download/31/31, diakses 08 September 2016, jam 10:18 WIB.
[7] Muhammad Alim Ihsan, “Perkembangan
Dakwah Dibidang Politik dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Ghaznawi, Buwaih
dan Saljuk”, http://almishbahjurnal.com/index.php/al-mishbah/article/download/31/31, diakses 08 September 2016, jam 10:18 WIB.
[8] A’la Subki dkk,
Sejarah Kebudayaan Islam Untuk Tsanawiyah, (Klaten: CV. Gema Nusa) hlm.
9.
[9]
Ali k, Sejarah Islam dari Awal hingga Runtuhnya Dinasti Usmani (tarikh
pramodern), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997) hlm. 268-269.
[10] Replianis, “Pendidikan Pada Masa
Buwaihi”, http://reolianis.blogspot.co.id/2012/10/pendidikan-pada-masa-buwaihi.html, diakses 10 September 2016, jam 02:42 WIB.
[11] Abuddin Nata, Sejarah
Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta : Rajawali
Pers, 2012), hlm. 228-229.
[13] Replianis, “Pendidikan Pada Masa
Buwaihi”, http://reolianis.blogspot.co.id/2012/10/pendidikan-pada-masa-buwaihi.html, diakses 10 September 2016, jam 02:42 WIB.
[14] A’la Subki dkk,
Sejarah Kebudayaan Islam Untuk Tsanawiyah, (Klaten: CV. Gema Nusa, t.th.),
hlm. 26.
[15]
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah, (Semarang: PT.
Karya Toha, 2009), hlm. 46.
[16] A’la Subki dkk,
Sejarah Kebudayaan Islam Untuk Tsanawiyah, (Klaten: CV. Gema Nusa, t.th.),
hlm. 27.
[17] Replianis, “Pendidikan Pada Masa
Buwaihi”, http://reolianis.blogspot.co.id/2012/10/pendidikan-pada-masa-buwaihi.html, diakses 10 September 2016, jam 02:42 WIB.
[18]
Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 154-155.
[19] Replianis, “Pendidikan Pada Masa
Buwaihi”, http://reolianis.blogspot.co.id/2012/10/pendidikan-pada-masa-buwaihi.html, diakses 10 September 2016, jam 02:42 WIB.
[20] Didin
Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: UIN Jakara Press, 2007),
hlm. 87.
[22] Dinas Pendidikan, “Tinjauan Sosial Pendidikan Islam Pada Masa Bani
Buwaihi”, http://www.slideshare.net/ReplianisAni/bani-buwaihi, diakses 10 September 2016, jam
21:28 WIB.
[23]
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
hlm. 136-137.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar